Home

Selasa, 22 Februari 2011

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN

Peluang pengembangan pertanian di lahan kering sesungguhnya masih terbuka lebar, khususnya untuk luar jawa yang memiliki lahan luas yang belum digunakan. Tetapi seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa lahan-lahan tersebut mempunyai kendala teknis dari rendah sampai sedang. Oleh karena itu faktor pembatas, seperti kualitas lahan dan ketersediaan air perlu mendapat sentuhan inovasi teknologi guna meningkatkan produktivitasnya, anatara lain dengan melalui konservasi air, pemanfaatan bahan organik dan integrasi tanaman – ternak
Konservasi Air dan Tanah
Usahatani konservasi (Conservation farming) pada lahan kering merupakan penerapan beberapa paket teknologi yang ditujukan untuk melestarikan lingkungan sekaligus berfungsi meningkatkan produksi. Teknologi konservasi air dan tanah merupakan komponen teknologi yang tidak dapat ditinggalkan, sebab lahan sebagai fungsi produksi harus dipertahankan kelestarian kesuburannya agar produksi tidak menurun dari waktu ke waktu.
Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan, faktor kelangkaan air (water scarcity) menjadi faktor pembatas yang perlu ditanggulangi untuk menunjang keberlanjutan sistem usahatani. Oleh karena itu konservasi dan pemanfaatan air merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan lahan kering untuk peningkatan produktivitas pertanian. Peningkatan produktivitas lahan melalui konservasi dan pengelolaan air perlu diintegrasikan dengan pengelolaan hara dan bahan organik tanah (Subagyono, et al., 2004).
Pemanfaatan rorak, merupakan alternatif untuk memanen air dan meningkatkan kelengasan tanah. Rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal (slot mulch) mampu mengurangi erosi sampai 94% (Noeralam, 2002). Efektivitas strip rumput dalam pencegahan erosi juga sudah banyak dibuktikan (Abujamin, 1983, Garity dan Agus, 1999, Dariah et al., 1993, 1999, dan Erfandy et al., 1997).
Hujan merupakan sumber utama air untuk tanaman yang jumlahnya melimpah ruah pada sebagian besar wilayah Indonesia.  Hanya sekitar 1% dari 193 juta lahan Indonesia mempunyai curah hujan setahun kurang dari 1.000 mm (Badan Meterologi dan Geofisika, 1994). Jumlah 1.000 mm ini bila dimanfaatkan secara efisien akan dapat menunjang proses produksi tanaman pangan semusim untuk dua musim tanam (Agus, dkk. 2002), dengan asumsi bahwa kebutuhan air untuk tanaman pangan lahan kering adalah 120 mm per bulan (Oldeman, 1980).  Oleh karena itu pembuatan kedung  atau embung diharapkan mampu menampung air hujan selama musim penghujan, untuk digunakan pada saat musim kemarau. Agus (2002) mengemukakan bahwa berbagai penelitian di Indonesia telah mencoba sistem pembuatan embung atau kedung, namun tidak dijumpai hasil penelitian yang komprehensif yang memberikan analisis kemampuan embung dalam menyediakan air pada musim kemarau (proporsi yang ideal antara dimensi embung dengan luas lahan yang akan diairi). Namun demikian pembuatan embung atau kedung merupakan salah satu teknologi alternatif dalam memanen hujan di lahan kering.
Pemanfaatan Bahan Organik
Pada dasarnya kandungan bahan organik dapat berupa mineral atau organik (Prasad dan Power, 1997). Kebanyakan bahan organik tanah berasal dari jaringan tanaman, jaringan hewan atau  produk tanaman lainnya dan merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, disamping itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah (Puslit Tanah dan Agroklimat, 2002).  Bahan organik dari sisa tanaman yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh organisme untuk menjadi humus atau bahan organik tanah.  Bahan organik tanah berperan penting dan merupakan faktor kunci dalam berbagai proses biokimia dalam tanah yang menentukan tingkat kesuburan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Selain itu bahan organik juga mampu meningkatkan daya tanah menahan air (water holding capacity) terutama pada tanah berpasir, menyediakan energi dalam oksida mikrobiologis, menyediakan dan atau meningkatkan ketersediaan hara tanaman, serta menurunkan keracunan Al pada tanah-tanah masam.
Fahmudin 1999 melaporkan bahwa sisa tanaman biji-bijian dapat mengembalikan unsur K sampai 60% dari kebutuhan K tanaman berikutnya dan sisa tanaman kacang-kacangan dapat menyediakan N sampai sekitar 30% kebutuhan tanaman berikutnya. Selanjutnya dikatakan bahwa penggunaan 2 ton (berat kering) bahan hijauan Gliricidia sepium atau Flemingia congesta dapat menyumbangkan nitrogen sebanyak 50 kg, phosphor 4 kg, dan kalium sebanyak 30 kg. Sementara itu penggunaan 2 ton berat kering pupuk kandang mampu menyumbang unsur hara berturut-turut 26, 60 dan 10 kg N, P dan K. Dengan demikian, apabila diasumsikan bahwa kebutuhan biji-bijian akan unsur hara adalah 50 kg N/ha, 20 kg P/ha dan 60 kg K/ha, maka bahan organik sejumlah 2 ton bahan kering atau setara dengan 10–15 ton berat basah/ha akan dapat memenuhi sebagian kebutuhan hara tanaman.
Tanaman Penutup Tanah (Cover Crop)
Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari kerusakan erosi dan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Suriadikarta, et al. (2002) tanaman penutup tanah mempunyai fungsi sebagai (a) pelindung tanah dari terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh (b) pelindung tanah terhadap daya perusak aliran air diatas permukaan tanah (run off) dan (c) perbaikan kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang berpengaruh terhadap jumlah dan kecepatan aliran permukaan (d) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, dan (e) melakukan transpirasi yang mengurangi kandungan air tanah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa jenis tanaman yang sesuai untuk tanaman penutup tanah adalah kacang-kacangan (leguminosa) karena mengandung bakteri yang dapat menambat nitrogen tanah dan perakarannya tidak memberikan kompetisi terhadap tanaman pokok.
Penanaman dalam strip (Strip Cropping)
Penanaman dalam strip merupakan suatu sistem bercocok tanam di lahan kering berlereng. Tanaman pangan diselingi dengan strip-strip tanaman yang tumbuh rapat berupa tanaman penutup tanah atau pupuk hijau. Rumput ditanam dalam strip untuk menghambat laju aliran permukaan dan erosi tanah. Ada 3 jenis penanaman dalam strip, yakni (a) penanaman dalam strip menurut kontur (b) penanaman dalam strip lapangan terdiri dari strip-strip tanaman yang lebarnya seragam dan disususn melintang arah lereng umum (c) penanaman dalam strip berpenyangga terdiri dari strip-strip rumput atau leguminosa yang dibuat diantara strip-strip tanaman pokok menurut kontur.
Pertanaman Lorong (Alley Cropping)
Sistem pertanaman lorong (alley cropping) merupakan suatu wadah usahatani yang berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tanah, dengan unsur pokok adalah tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisan tanaman legum yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, dan tanaman semusim (pangan, hortikultura, atau tanaman industri yang bernilai ekonomi tinggi) ditanam pada lorong-lorong diantara tanaman pagar (Abdurachman, 1994).. Pertanaman lorong sangat efektif menekan laju erosi (Haryati, et al., 1991).
INTEGRASI TANAMAN – TERNAK
Upaya peningkatan produktivitas lahan melalui konservasi air dan pemanfaatan bahan organik akan semakin berarti apabila diintegrasikan dengan usahatani ternak, karena
dalam implementasinya konservasi lahan dan air akan terjamin keberlanjutannya  jika diintegrasikan dengan ternak (Watung et al., 2003; Subagyono et al., 2004). Ternak dan produk sampingannya berupa kotoran ternak, baik secara langsung maupun diolah terlebih dahulu menjadi kompos (Bokashi) merupakan sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang diusahakan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa produk dan kandungan nitrogen kotoran ternak cukup memadai untuk mensubstitusi unsur hara yang dibutuhkan tanaman apabila bahan tersebut dikelola dengan baik (Tabel 2). Sedangkan tanaman yang digunakan sebagai bahan konservasi lahan dan air dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan yang diperlukan untuk makanan ternak.
Tabel 1. Produk dan kandungan N kotoran berbagai ternak piaraan
Spesies
Berat hidup dewasa (kg)
Produk kotoran (kg/hari)
Kandungan N (%)
Produksi N (g)
Produksi N kg/tahun
Kerbau
460
5,80
0,80
46,40
16,90
Sapi
350
4,40
0,73
32,10
11,70
Kambing
20
0,30
1,32
4,00
1,50
Domba
20
0,30
0,91
2,70
1,00
Ayam
2
0,05
3,90
0,20
0,07
Itik
2
0,05
3,00
0,18
0,07
Sumber : Devendra, 1993
Menurut Abdurachman (1997)  penanaman rumput pada strip-strip searah kontur tidak secara langsung dapat memperkaya bahan organik tanah. Tetapi cara ini dapat menghambat penurunan kadar bahan organik tanah melalui pengendalian erosi. Jika rumput yang ditanam berupa rumput hijauan pakan ternak, maka petani dapat mengembalikan bahan organik ke dalam tanah dalam bentuk pupuk kandang. Dengan demikian kemungkinan bahan organik dapat ditingkatkan, bahkan mungkin dapat dipertahankan tetap tinggi dalam jangka panjang.
Sistem pertanaman lorong (alley cropping) juga dapat dimanfaatkan bersama dengan ternak, karena penelitian sistem pertanaman lorong pada umumnya menghasilkan kesimpulan yang mendukung upaya penerapannya, antara lain dapat menekan laju erosi, dan menghasilkan bahan hijauan yang dapat dimanfaatkan sebagai tambahan pakan ternak atau dijadikan mulsa. Jenis tanaman pakan dapat dipilh, bila yang diharapkan adalah usaha pengembangan ternak, sedangkan kotoran ternaknya dapat diberikan ke dalam tanah sebagai pupuk kandang. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman pagar, disajikan dalam Tabel 3.
Oleh karena itu dalam konservasi air dan tanah, maka strategi yang dapat ditempuh adalah dengan pemanfaatan tanama-tanaman yang secara langsung dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, baik pada konservasi melalui pembuatan rorak atau rorak yang dikombinasikan dengan mulsa, tanaman penutup tanah (cover crop), penanaman dalam strip (strip cropping), dan pertanaman lorong (alley cropping)

Tabel 2. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman pagar
Jenis tanaman
Pertumbuhan
Pakan ternak
Caliandra callothyrsus
Cepat
Baik
Gliricidia sepium
Cepat
Baik
Leucaena leucocephala
Cepat
Baik
Leucaena diversifolia
Cepat
Baik
Flemingia congesta
Lambat
Kurang
Capanus cajosi
Sedang
Baik
Dalbergia sisso
Sedang/cepat
Baik
Desmautus virgatus
Lambat/sedang
Baik
Tephrosia volgelli
Cepat
Kurang
Vetiveria zizanioides
Cepat
Kurang
King grass
Sedang/cepat
Baik
Sumber : Sembiring et al., 1991; Puslittanak 1994/1995.
 
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A.1994. Teknologi usahatani lahan kering untuk pengembangan pertanian di Kalimantan. Hal. 115-133 dalam Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Palangkaraya, 5-6 Oktober 1993. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
A. Abdurachman, Sutono, dan I. Juarsah. 1997. Pengkayaan bahan organik tanah dalam upaya pelestarian usahatani lahan kering di DAS bagian hulu. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Review. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
A. Hidayat, dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penel;itian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Badan Meterologi dan Geofisika (BMG). 1994. Rainfall types in Indonesia. BMG, Jakarta.
Dariah, A., D. Erfandy, E. Suriadi, dan H. Suwardjo. 1993. Tingkat efisiensi dan efektifitas tindakan konservasi secara vegetatif dengan strip vetiver dan tanaman pagar Flemingia congesta pada usahatani tanaman jagung. Hal. 83-92 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 18-21 Februari 1993.
Erfandy, M.D., M. Nur, dan T. Budhyastoro. 1997. Perbaikan sifat fisik tanah dengan strip vetiver dan pupuk kandang. Hal. 33-40 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret 1997.

Potensi dan Kendala Lahan Kering

Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peluang besar untuk dimanfaatkan secara optimal, khususnya untuk pembangunan pertanian baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan. Menurut data Puslit Tanah dan Agroklimat (1998) areal lahan kering di Indonesia cukup luas yaitu mencapai 52,5 juta ha yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali (7,1 juta ha), Sumatera (14,8 ha), Kalimantan (7,4 juta ha), Sulawesi (5,1 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 juta ha), dan Papua (11,8 juta ha).

Selanjutnya dikatakan bahwa sebagian besar lahan kering tersebar di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu yang bentuk wilayahnya berombak sampai berbukit dengan curah hujan antara rendah sampai tinggi. Pada daerah yang memiliki intensitas hujan yang tinggi dapat memacu terjadinya erosi dan berakibat menurunnya tingkat produktivitas lahan. Kendala lain yang dijumpai pada lahan kering adalah reaksi tanah masam, kesuburan tanah rendah, dan miskin bahan organik.

Sifat tanah pada lahan kering beriklim basah yang paling menonjol adalah tingkat produktivitasnya yang rendah, sedangkan lahan kering beriklim kering kendala yang paling menonjol adalah ketersediaan air yang terbatas karena curah hujan rendah dan panjangnya musim kemarau. Hal ini mengakibatkan terjadinya evapotranspirasi yang lebih besar dari pada curah hujan, sehingga dapat menimbulkan perubahan reaksi tanah (aciditas/alkalinitas dan atau salinitas) serta keseimbangan hara terganggu (Puslit Tanah dan Agroklimat, 2000).

Aktivitas budidaya komoditas pertanian pada lahan kering dataran tinggi dengan topografi berbukit sampai bergunung, terutama untuk tanaman perkebunan, tanaman pangan dan hortikultura/sayuran yang intensif, mengandung resiko yang sangat besar karena lahan demikian sangat peka terhadap gangguan atau perubahan dari luar seperti hujan yang menyebabkan erosi, longsor, dan banjir sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan dan lingkungan sekitarnya.