Home

Kamis, 17 Februari 2011

Pola Usaha Tani Konservasi

Kekeringan berkepanjangan saat ini sangat erat hubungannya dengan kesalahan penanganan pengelolaan lahan daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu yang kurang mengikuti kaidah konservasi tanah dan air, sehingga pasokan dan cadangan air tanah menurun. Pengelolaan DAS bagian hulu sering kali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Misalnya kesalahan penggunaan lahan daerah hulu (seperti: Wonogiri, Boyolali, dan Purwodadi) akan berdampak pada masyarakat di daerah hilir. Terbukanya lahan yang berbukit di daerah hulu baik karena penebangan hutan ataupun penerapan cara pengelolaan tanah dalam usaha tani yang keliru menyebabkan terjadinya erosi tanah. Sedimentasi dari tanah yang tereosi akan menyebabkan daya tampung sungai berkurang, yang menyebabkan terjadinya banjir di daerah hilir. Disamping itu karena pasokan air hujan ke dalam tanah (water saving) rendah dan cadangan air dimusim kemarau berkurang akan menyebabkan terjadi kekeringan berkepanjangan dan hilangnya mata air seperti banyak terjadi sekarang ini.
Indonesia sebagai daerah tropis, erosi tanah oleh air merupakan bentuk degradasi tanah yang sangat dominan. Praktik deforesterisasi merupakan penyebab utamanya baik di hutan produksi ataupun di hutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan. Di samping itu, praktek usaha tani yang keliru di daerah hulu yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya kemerosotan sumberdaya lahan yang akan berakibat semakin luasnya lahan kritis kita. Hal ini terbukti pada tahun 1990-an luas lahan kritis di Indonesia 13,18 juta hektar, namun sekarang diperkirakan mencapai 23,24 juta hektar, sebagian besar berada di luar kawasan hutan (65%) yaitu di lahan milik rakyat dengan pemanfaatan yang sekedarnya atau bahkan cenderung diterlantarkan. Keadaan ini justru akan membawa dampak lahan semakin krtis dan kekeringan panjang terjadi dimusim kemarau. Hal ini menandakan bahwa petani masih banyak yang belum mengindahkan praktek usaha tani konservasi.

Usaha Tani Konservasi
Konservasi tanah dan air bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan serta menurunkan atau menghilangkan dampak negatip pengelolaan lahan seperti erosi, sedimentasi dan banjir. Upaya konservasi ini dapat dilakukan secara sipil teknik (mekanis) dan secara vegetatip. Pengendalian erosi secara mekanis merupakan pengendalian erosi–sedimentasi yang memerlukan beberapa sarana fisik antara lain pembuatan teras, rorak, saluran pembuangan air dan terjunan air. Sedang pengendalian erosi secara vegetatif, merupakan pengendalian erosi yang didasarkan pada peranan tanaman yang ditanam atau tumbuh dan berkembang bertujuan untuk mengurangi daya pengikisan dan penghanyutan tanah oleh aliran permukaan. Dalam praktek konsevasi tanah, kedua cara diterapkan secara terpadu, seperti pembuatan teras dengan penanaman ganda, dan sangat efektif dalam menekan laju erosi.
Terkait dengan peran tanaman, tanaman dapat berfungsi melindungi permukaan tanah terhadap pukulan air hujan, melindungi daya transportasi aliran permukaan, dan menambah infiltrasi tanah, sehingga pasokan air dan cadangan air dalam tanah meningkat. Disamping itu, dapat memasok bahan organik dan hara N, serta dapat menyediakan pakan untuk ternak. Cara ini dapat dilakukan dengan cara penanaman tanaman penutup tanah, penanaman sistem lorong, dan penghijauhan. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan menekan laju erosi, dapat menerapkan pola usaha tani konservasi melalui sistem penanaman ganda (Multiple cropping), dan sistem pertanian terpadu.

Sistem penanaman ganda (Multiple cropping)
Sistem penanaman ganda merupakan sistem bercocok tanam dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman dalam sebidang tanah bersamaan atau digilir. Sistem ini dapat menunjang strategi pemerintah dalam rangka pelaksanaan program diversifikasi pertanian yang diarahkan untuk dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dengan tetap memperhatikan kelestariannya.
Sistem pertanian ganda ini sangat cocok bagi petani kita dengan lahan sempit di daerah tropis, sehingga dapat memaksimalkan produksi dengan input luar yang rendah sekaligus meminimalkan resiko dan melestarikan sumberdaya alam. Selain itu keuntungan lain dari sistem ini : (a) mengurangi erosi tanah atau kehilangan tanah-olah, (b) memperbaiki tata air pada tanah-tanah pertanian, termasuk meningkatkan pasokan (infiltrasi) air ke dalam tanah sehingga cadangan air untuk pertumbuhan tanaman akan lebih tersedia, (c) menyuburkan dan memperbaiki struktur tanah, (d) mempertinggi daya guna tanah sehingga pendapatan petani akan meningkat pula, (e) mampu menghemat tenaga kerja, (f) menghindari terjadinya pengangguran musiman karena tanah bisa ditanami secara terus menerus, (g) pengolahan tanah tidak perlu dilakukan berulang kali, (h) mengurangi populasi hama dan penyakit tanaman, dan (i) memperkaya kandungan unsur hara antara lain nitrogen dan bahan organik.
Menurut bentuknya, pertanaman ganda ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pertanaman tumpangsari (Intercropping) dan pertanaman berurutan (Sequential Cropping). Sistem tumpang sari, yaitu sistem bercocok tanaman pada sebidang tanah dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman dalam waktu yang bersamaan. Sistem tumpang sari ini, disamping petani dapat panen lebih dari sekali setahun dengan beraneka komoditas (deversifikasi hasil), juga resiko kegagalan panen dapat ditekan, intensitas tanaman dapat meningkat dan pemanfaatan sumber daya air, sinar matahari dan unsur hara yang ada akan lebih efisien.
Agar diperoleh hasil yang maksimal maka tanaman yang ditumpangsarikan harus dipilih sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin serta dapat menurunkan pengaruh kompetitif yang sekecil-kecilnya. Sehingga jenis tanaman yang digunakan dalam tumpangsari harus memiliki pertumbuhan yang berbeda, bahkan bila memungkinkan dapat saling melengkapi. Dalam pelaksanaannya, bisa dalam bentuk barisan yang diselang seling atau tidak membentuk barisan. Misalnya tumpang sari kacang tanah dengan ketela pohon, kedelai diantara tanaman jagung, atau jagung dengan padi gogo, serta dapat memasukan sayuran seperti kacang panjang di dalamnya.
Sistem penanaman ganda yang lain yaitu sistem tumpang gilir, yang merupakan cara bercocok tanaman dengan menggunakan 2 atau lebih jenis tanaman pada sebidang tanah dengan pengaturan waktu. Penanaman kedua dilakukan setelah tanaman pertama berbunga. Sehingga nantinya tanaman bisa hidup bersamaan dalam waktu relatif lama dan penutupan tanah dapat terjamin selama musim hujan.

Agroforestry

Program penghijauan atau penghutanan perlu terus dilakukan baik di lahan petani maupun di kawasan hutan. Sistem penanaman dalam pelaksanaan penghutanan kebali baik di dalam dan diluar kawasan dapat dilakukan dengan dua pola yaitu murni tanaman kayu (bisa satu jenis tanaman kayu atau campuran) maupun agroforestry. Sebenarnya agroforestry juga merupakan pola tumpang sari, yang memadukan tanaman tahunan dengan tanaman pertanian. Pola ini mampu menutup tanah dengan sempurna sehingga berpengaruh efektif terhadap pengendalian erosi dan peningkatan pasokan air tanah.
Menyadari keberadaan masyarakat sekitar hutan sangat menentukan baik dan buruknya hutan. Perhutani dalam rangka pelaksanaan program pembangunan hutan, menerapkan pola agroforestry dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk ikut berpartisipasi. Pada saat tanaman tahunan masih kecil petani sekitar hutan dapat mengusahakan lahan untuk budidaya tanaman semusim. Sehingga program pembangunan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang dulu dikenal sebagai perhutanan sosial, akan berdampak positip ganda, disamping dapat membantu masyarakat secara ekonomis (dari hasil tanaman semusim dan rumput untuk pakan ternak) juga kelestarian tanaman hutan akan terjamin, karena tumbuh kesadaran petani untuk memeliharanya. Secara teknis konservasi, adanya variasi antara tanaman pertanian semusim dan /atau dengan rumput di antara tegakan tanaman tahunan, akan meningkatkan penutupan lahan secara sempurna. Komposisi penutupan ini secara efektif akan menekan laju erosi dan sedimen dan mengurangi evaporasi sehingga cadangan air tanah akan tersedia lebih banyak.

Pertanian terpadu
Penerapan sistem pertanian terpadu integrasi ternak dan tanaman terbukti sangat efektif dan efisien dalam rangka penyediaan pangan masyarakat. Siklus dan keseimbangan nutrisi serta energi akan terbentuk dalam suatu ekosistem secara terpadu. Sehingga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi yang berupa peningkatan hasil produksi dan penurunan biaya produksi.
Kegiatan terpadu usaha peternakan dan pertanian ini, sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya. Sistem tumpangsari tanaman dan ternak banyak juga dipraktekkan di daerah perkebunan. Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan komponen kedua.
Praktek penerapan pola usaha tani konservasi ini hendaknya dilakukan secara terpadu, seperti sistem multiple croping (pertanaman ganda / tumpang sari), agroforestry, perternakan, dan dipadukan dengan pembuatan teras. Misalnya dalam praktek PHBM, tanaman pangan ditanam pada bidang teras meliputi kedelai, kacang tanah, jagung dan kacang panjang yang di tanamn diantara tanaman tahunan (misal: jati, mauni atau pinus sebagai tanaman pokok). Pada tepi teras ditanami dengan tanaman penguat teras yang terdiri dari tanaman rumput, lamtoro dan dapat ditanami tanaman hortikultura seperti srikaya ataupun nanas dan pisang. Tanaman rumput pada tepi teras disamping berfungsi sebagai penguat teras juga sebagai sumber pakan ternak (sapi atau kambing).

Agroforestry Sebagai Suatu Sistim Pengelolaan Lahan

Pengertian Agroforestry
Hudges (2000) dan Koppelman dkk.,(1996) mendefinisikan Agroforestry sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana adalah menanam pohon dalam sistem pertanian. (Sa’ad, 2002)
Reijntjes, (1999), menyatakan Agroforestry sebagai pemanfaatan tanaman kayu tahunan secara seksama (pepohonan, belukar, palem, bambu) pada suatu unit pengelolaan lahan yang sama sebagai tanaman yang layak tanam, padang rumput dan atau hewan, baik dengan pengaturan ruang secara campuran atau ditempat dan saat yang sama maupun secara berurutan dari waktu ke waktu.(Sa’ad, 2002)
King and Chandler, (1978) dalam Andayani, (2005) mendefinisikan agroforestry adalah ; Suatu system pengelolaan lahan yang lestari untuk meningkatkan hasil, dengan cara memadukan produksi hasil tanaman pangan (termasuk hasil pohon-pohonan) dengan tanaman kehutanan dan/atau kegiatan peternakan baik secara bersama-sama maupun berurutan pada sebidang lahan yang sama, dan menggunakan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan pola kebudayaan penduduk setempat.
King (1978) dan Koppelman dkk., (1996) seperti yang dikutip Sa’ad (2002) menyebutkan bahwa sistem agroforestry dapat dikelompokkan menurut struktur dan fungsi, sebagaimana agroekologi dan adaptasi lingkungan, sifat sosio ekonomi, aspek budaya dan kebiasaan (adat), dan cara pengelolaannya.

Implementasi Sistem Agroforestry

Ada beberapa cara klasifikasi agroforestry diantaranya : berdasarkan kombinasi komponen pohon, tanaman, padang rumput/makanan ternak dan komponen lain yang ditemukan dalam agroforestry (Sa’ad 2002)
1. Agrosilviculture : Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
2. Silvopastoral : Padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
3. Agrosilvopastoral : tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
4. Sistem lain , yang meliputi :Silvofishery : pohon dan ikan Apiculture : pohon dan lebah Sericulture : pohon dan ulat sutera
Selain praktek-praktek sistem agroforestry diatas Marseno (2004), juga menyajikan bentuk lain sistem agroforestry yang berbasis pelestarian lingkungan yaitu ;
1. Riperian Buffer Forest (Hutan Penyangga tepi sungai) ; fungsinya menjaga kondisi alami di sepanjang sungai, menjaga erosi dan meningkatkan biodiversitas. Sistim penyangga tidak hanya untuk ekosistim tepi sungai, namun juga memberikan perlindungan terhadap pengeolahan tanah disekitarnya. (lihat Gambar 4).
2. Windbreaks
Fungsinya untuk melindungi tanaman-tanaman pertanian yang sensitive terhadap angina seperti gandum dan sayuran (gambar.5). Pola-pola ini hampir menyerupai pola penanaman dalam agroforestry yaitu trees along border yaitu penanaman tanaman kehutanan di sekitar tanama pertanian (Sabarnurdin,2004)

Agroforestry dalam upaya Konservasi Tanah dan Air


Menurut Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof Dr. Ir. Muhjidin Mawardi MEng, bahwa terdapat paling tidak empat faktor utama yang menentukan keberhasilan rekayasa konservasi tanah dan air, yaitu sifat-sifat fisik tanah dan lahan, sifat hujan, interaksi antara hujan dengan tanah dan lahan yang menghasilkan air limpasan permukaan dan infiltrasi, serta simpanan air dalam tanah. (Ujianto,2006).
Agroforestry dalam konservasi tanah dan air adalah bagaimana pengaruh kondisi vegetasi suatu hamparan lahan didalam mengatur tata air memperbaiki kesuburan lahan. Bagaimana perpaduan pola tanam dan kolaborasi antar macam kegiatan ekonomi yang berbasis agroforestry yang mengarah perbaikan kondisi lingkungan, sehingga manfaat multi fungsi dapat dirasakan.
Pengaruh tutupan pohon terhadap aliran air adalah dalam bentuk (Noordwijk, et al. 2004 ) :
1. Intersepsi air hujan. Selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air.
2. (waterfilm) pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah. Banyaknya air yang dapat diintersepsi dan dievaporasi tergantung pada indeks luas daun (LAI), karakteristik permukaan daun, dan karakteristik hujan. Intersepsi merupakan komponen penting jika jumlah curah hujan rendah, tetapi dapat diabaikan jika curah hujan tinggi. Apabila curah hujan tinggi, peran intersepsi pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir.
3. Daya pukul air hujan. Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya limpasan permukaan akan meningkat. Peran lapisan seresah dalam melindungi permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap pelapukan; seresah berkualitas tinggi (mengandung hara, terutama N tinggi) akan mudah melapuk sehingga fungsi penutupan permukaan tanah tidak bertahan lama.
4. Infiltrasi air. Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organic (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar, dan akar-akar yang mati). Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting untuk mengantisipasi adanya proses peluruhan dan penyumbatan pori makro tanah.
5. Serapan air. Sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai lapisan tanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Faktor– faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia. Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya dari lapisan tanah bawah akan mempengaruhi jumlah air tersedia untuk ‘aliran lambat’ (slow flow).
6. Drainase lansekap. Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya ‘aliran cepat air tanah’ (quick flow).
Peran Agroforestry dalam konteks hidrologi lebih pada skala Lansekap (Widianto,2004) :
1. Infiltrasi à Peresapan
2. Evapotranspirasi
3. Penyaringan (filter) sedimen, hara
4. Limpasan permukaan à Banjir
5. Menjaga base-flow à Kekeringan

Kesuburan tanah adalah kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman, pada kondisi iklim dan lingkungan yang sesuai. Untuk mempertahankan produksi tetap lestari, maka cara untuk memelihara atau mempertahankan kesuburan adalah dengan memciptakan penggunaan lahan dalam kondisi ekosistem alami (Barrow, 1991, cit Maylinda et al, 2003).
Menurut Sitanala Arsyad (1989), konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air. (Beydha, 2002)
Keberlanjutan sistem penggunaan lahan sangat tergantung pada fleksibilitasnya dalam keadaan lingkungan yang terus berubah. Adanya keanekaragaman sumberdaya genetik yang tinggi pada tingkat usahatani akan menunjang fleksibilitas ini (Reijntjes, 1999).
Beberapa tindakan mendekati sasaran pertanian berkelanjutan (Padmowijoto, 2004) ;
1. Lebih mendekati pada proses alami, seperti siklus hara, dan fixasi N atmosfer.
2. Mengurangi penggunaan input eksternal yang tidak bisa diperbarui, yang potensial merusak lingkungan atau mengancam kesehatan petani dan konsumen.
3. Lebih produktif dalam menggunakan potensi biologi dan genetik tanaman dan species ternak.
4. Produksi lebih menguntungkan dan efisien dengan menekankan pada manajemen usaha secara integrasi, dan konservasi tanah, air, energi dan sumber biologi.
Menurut FAO (1989), agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang tepat untuk mendukung pertanian berkelanjutan, karena disamping memiliki konstribusi produksi yang nyata dan beragam, juga fungsi konservatif terhadap lingkungan dan keadaan sosial sehingga menjamin ekonomi yang lebih luas dan keamanan pangan lebih tinggi.
Agroforestry pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang `berlapis-lapis` untuk meningkatkan produktivitas lahan. Ambil contoh berikut ini. Pada sebidang tanah, seorang petani menanam sengon (Paraserianthes falcataria) yang memiliki tajuk (canopy) yang tinggi dan luas. Di bawahnya, sang petani menanam tanaman kopi (Coffea spp) yang memang memerlukan naungan untuk berproduksi. Lapisan terbawah di dekat permukaan tanah dimanfaatkan untuk menanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis) yang toleran/tahan terhadap naungan. Bisa dimengerti bahwa dengan menggunakan pola tanam agroforestry ini, dari sebidang lahan bisa dihasilkan beberapa komoditas yang bernilai ekonomi. Akan tetapi sebenarnya pola tanam agroforestry sendiri tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zat hara (nutrient) di lapisan tanah yang dalam, kemudian ditransfer ke permukaan tanah melalui luruhnya biomasa (Budiadi,2005).
Manfaat Lingkungan yang dapat diperoleh dari sistem Agroforestry (Sabarnurdin, 2004) ;
1. Mengurangi tekanan terhadap hutan, sehingga fungsi kawasan hutan tidak terganggu (tata air, keanekaragaman hayati dll);
2. Lebih efisien dalam recicling unsur hara melalui pohon berakar dalam di lokasi tsb.;
3. Perlindungan yang lebih baik terhadap sistem ekologi daerah hulu DAS;
4. Mengurangi aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah ;
5. Memperbaiki iklim mikro, mengurangi suhu permukaan tanah, mengurangi evapotranspirasi karena kombinasi mulsa dari tanaman setahun/semusim dan naungan pohon;
6. Meningkatkan hara tanah dan struktur tanah melalui penambahan yang kontinyu hasil proses dekomposisi bahan organik ;
Dari teori-teori yang dikemukakan diatas, dapat diartikan bahwa sistem agroforestry cukup flexible untuk diterapkan di bagian hulu sungai yang mengalami kekritisan lahan, dalam rangka pemulihan kondisi lahan tersebut. Hanya yang perlu diatur adalah ;
1. Pemilihan perpaduan atau kombinasi sistem agroforestry yang tepat yang disesuaikan dengan karakteristik lahan.
2. Pemilihan jenis yang tepat didalam rangka pengembalian kesuburan tanah dan terbentuknya kembali sistim hidrologi lahan.
3. upaya pembentukan strata yang tepat dalam rangka rekayasa konservasi tanah dan air, tanpa mengeyampingkan fungsi ekonomi dari kegiatan agroforestry tersebut.

Salah Satu Tehnik Konservasi Tanah dan Air

Perusakan lingkungan di Indonesia terus menunjukkan dampaknya. Data terbaru Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan, puluhan daerah aliran sungai atau DAS masuk kategori kritis. Data dalam buku laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) tahun 2006 itu sekaligus juga diartikan kondisi ke-60 DAS memprihatinkan. "Beberapa parameter daerah aliran sungai itu berarti di bawah standar," kata Kepala Bidang Sungai Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hermono Sigit di Jakarta. (Kompas, 2007)
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan DAS tersebut sangat merugikan kehidupan penduduk, seperti banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, menurunnya kesuburan tanah, produksi pertanian menurun, dan sebagainya. Kerusakan DAS tersebut perlu segera ditangani secara komprehensif melalui perencanaan pengelolaan DAS yang baik sehingga kerusakan lingkungan dapat segera diminimumkan dan pada gilirannya dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan penduduk.
Bagian hulu adalah zona terpenting yang perlu diperhatikan dalam upaya pelestarian Daerah Aliran sungai. Pengelolaan sumberdaya alam di daerah ini akan berdampak pada kualitas tanah dan air sekitar DAS tersebut. Usaha-usaha pertanian disini haruslah diupayakan mengadopsi teknologi-tenologi yang mangacu pada prinsip-prinsi konservasi, karena perubahan vegetasi seperti keterbukaan lahan, maka akan berdampak kepada peningkatan erosi, dan dampak-dampak lain yang berkaitan dengan degradasi lahan.
Menurut Zulrasdi et, al (2005) Kerusakan daerah aliran sungai sangat erat hubungannya dengan kelestarian hutan di daerah hulu sebagai daerah tangkapan hujan. Apabila hutan mengalami kerusakan, maka dapat dipastikan terjadi banjir pada daerah aliran sungai. Untuk itu berusaha tani di daerah DAS, harus diikuti konservasi lahan.

Agar kelestarian sumber daya alam dan keserasian ekosistem dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan maka pengelolaan DAS harus dilakukan sebaik mungkin, yang meliputi :
1. Pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui
2. Kelestarian dan keserasian ekosistem (lingkungan hidup)
3. Pemenuhan kebutuhan manusia yang berkelanjutan
4. Pengendalian hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia
Usaha pokok dalam pengawetan tanah dan air meliputi (Zulrasdi et, al. 2005):
1. Pengelolaan lahan
• Sesuai kemampuan lahan
• Mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah
• Melindungi lahan dari ancaman erosi dengan menanam tanaman penutup tanah
• Penggunaan mulsa.


2. Pengelolaan Air
Pengelolaan air adalah usaha-usaha pengembangan sumberdaya air dalam hal :
• Jumlah air yang memadai
• Kwalitas air
• Tersedia air sepanjang tahun

3. Pengelolaan Vegetasi
Pengelolaan vegetasi pada hutan tangkapan air maupun pemeliharaan vegetasi sepanjang aliran sungai, dapat ditempuh dengan cara:
• Penanaman dengan tanaman berakar serabut seperti: bambu yang sangat dianjurkan di pinggiran sungai, kemudian diikuti dengan rumput makanan ternak seperti: Rumput gajah, Rumput Setaria, Rumput Raja, dan lain-lain sebagainya. Penanaman ini dimaksudkan untuk penghalang terjadinya erosi pada tanah.
• Penanaman tanaman semusim untuk lahan yang tidak memiliki kemiringan
• Pembuatan teras. Bila pada lahan tersebut terdapat kemiringan, maka perlu dibuat teras.

4. Usaha Tani Konservasi
Usaha tani konservasi adalah penanaman lahan dengan tanaman pangan serta tanaman yang berfungsi untuk mengurangi erosi (aliran permukaan) dan mempertahankan kesuburan tanah.
Prinsip usaha tani konservasi :
• Mengurangi sekecil mungkin aliran air permukaan dan meresapkan airnya sebesar mungkin ke dalam tanah.
• Memperkecil pengaruh negatif air hujan yang jatuh pada permukaan tanah
• Memanfaatkan semaksimal sumber daya alam dengan memperhatikan kelestarian.

Sistim pengelolaan lahan dengan pendekatan konservasi difokuskan pada bentuk upaya konservasi tanah dan air guna penanggulangan erosi permukaan dan menjaga hilangnya kesuburuan tanah. Tanpa adanya teknik-teknik penanaman yang menitik beratkan pada konservasi, maka akan semakin banyak lahan yang kritis, dan hanya dapat dikelola dalam jangka pendek, sementara untuk jangka panjang, produktifitasnya akan menurun.
Lahan kritis adalah lahan yang karena tidak sesuai penggunaan tanah dan kemampuannya, telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik-kimia-biologi, yang akhirnya membahayakan fungsi hidro-orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya. Lahan kritis dan marjinal di Indonesia mencapai 43 juta ha, diantaranya 20 juta ha kritis hidroorologisnya dan setiap tahunnya masih terus bertambah (Soewandito, et al 2002).
Untuk memperbaiki kondisi lahan yang telah rusak, maka dapat dilakukan upaya konservasi tanah, dengan rekayasa-rakayasa teknis. Namun upaya konservasi tanah dan air ini dalam memperbaiki serta meningkatkan produkstifitas lahan, haruslah benar-benar tepat sesuai dengan kondisi lahan pemilihan vegatasi serta iklim.
Menurut Sinukaban (1995), seperti yang dikutip Marwah (2001), dalam sistem usahatani konservasi akan diwujudkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Produksi usahatani cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya
2. Pendapatan petani yang cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya.
3. Teknologi yang diterapkan baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi dapat diterima dengan senang hati dan diterapkan sesuai kemampuan petani sendiri sehingga sistem usahatani tersebut dapat diteruskan tanpa intervensi dari luar.
4. Komoditi yang diusahakan cukup beragam, sesuai kondisi biofisik, sosial dan ekonomi
5. Erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga produksi yang tinggi tetap dapat dipertahankan atau ditingkatkan dengan fungsi hidrologis tetap terpelihara dengan baik.
6. Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang dan menggairahkan petani untuk tetap berusahatani.
Ada beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan (Sinukaban, 2003) dalam Suhardi (2003) yaitu :
1. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage, countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan residu tanaman, dll.

2. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
3. Struktur/konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, Saluran, dll.
4. Manajemen berupa perubahan penggunaan lahan.

Agroforrestry merupakan suatu konsep yang dianggap tepat untuk memadukan konsep-konsep usaha tani dalam rangka peningkatan ekonomi dan konservasi.

Permasalahan Pada Tanah Mineral Masam

Tanah masam di Indonesia memiliki ciri-ciri tekstur lempungan, struktur gumpal, permeabilitas rendah, stabilitas agregat baik, pH rendah, KPK rendah, aras N, P, Ca, Mg sangat rendah, vegetasi alami alang-alang (Imperata cylindrica) dan hutan (Hardjowigeno, 1993), fraksi lempung didominasi oleh mineral-mineral bermuatan terubahkan seperti kaolinit, gibsit dan atau goetit (Ismail et al., 1993). Tanah ini di Indonesia terbentuk di daerah yang bercurah hujan tinggi (2500-3000 mm per tahun), topografi berombak hingga berbukit dengan ketinggian 50-350 mm di atas muka air laut, batuan induk granit, abu vulkan atau andesit .

Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi kendala pH yang rendah, keracunan Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan unsur-unsur hara penting seperti N, P, Ca, dan atau Mg dan Mo . Upaya untuk mengatasi persoalan kesuburan tanah-tanah masam adalah dengan mengkombinasikan antara praktek usaha tani dengan penerapan bioteknologi tanah yang menekankan pada komponen mengamankan suplai N di dalam sistem tanah-tanaman dengan pengayaan fiksasi N2 secara biologis (Notohadiprawiro, 1990). Teknologi ini mencakup segala upaya untuk memanipulasi jasad renik dalam tanah dan proses metabolik mereka untuk mengoptimumkan produktivitas pertanaman.

Lahan kering tergolong suboptimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg. Pemberian bahan ameliorasi kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam.

Usaha pertanian di tanah Ultisol akan menghadapi sejumlah permasalahan.Tanah Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan kandunganAl, Fe, dan Mn terlarut tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis tanah ini biasanya miskin unsur hara esensial makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro Zn, Mo, Cu, dan B, serta bahan organik . Meskipun secara umum tanah Ultisol atau Podsolik Merah Kuning banyak mengandung Al dapat ditukar (Al-dd) (20-70%), namun hasil penelitianmenunjukkan bahwa beberapa contoh tanah tersebut mengandung Al-dd relatif rendah (< 20%).

Tanah di KP. Kayu Agung, Indralaya, dan Prabumulih Sumatera Selatan, misalnya, mempunyai kejenuhan Al-dd berturut-turut 11,08%, 1,01%, dan 17,26% di Jawa Barat 13,40% dan 11 dari 28 contoh tanah lapisan atas yang berasal dari Lampung Tengah jugamemiliki kejenuhanAl-dd yang rendah (Taufiq et al. 2003).

Tekstur tanah ultisol bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan lempungan (clayey). Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral silikat tipe 1:1 serta oksida dan hidroksida Fe danAl, sehingga fraksi lempung tergolong beraktivitas rendah dan dayamemegang lengas juga rendah. Karena umumnya memiliki kandungan bahan organik rendah dan fraksi lempungnya beraktivitas rendah maka kapasitas tukar kation tanah (KTK) tanah Podsolik juga rendah, sehingga relatif kurang kuatmemegang hara tanaman dan karenanya unsur haramudah tercuci. Tanah Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan terubahkan (variable charge), sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai pH-nya, peningkatan pH akan diikuti oleh peningkatan KTK, lebih mampu mengikat hara K dan tidak mudah tercuci (Subandi, 2007).

Memperhatikan permasalahan yang dihadapi pada lahan kering masam seperti yang disebutkan di depan, maka dalam pengelolaannya untuk pertanaman, secara teknis, terdapat dua pendekatan pokok yakni pemilihan jenis komoditas atau varietas yang adaptif serta perbaikan kesuburan tanah dengan ameliorasi dan pemupukan.

Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara (Soebagyo,et al., 2004; Hidayat dan Mulyani, 2005). Salah satu ordo tanah yang cukup luas penyebarannya adalah Ultisols. Ditinjau dari luasnya, Ultisol mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan lahan ini menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa kendala sifat fisik tanah yang sering dijumpai antara lain adalah kemantapan agregat yang rendah, tanah mudah menjadi padat dan permeabilitas tanah yang lambat.

Pada umumnya lahan kering masam didominasi oleh tanah Ultisol, yang dicirikan oleh kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang/menyimpan air yang rendah, tetapi kadar Al dan Mn tinggi. Oleh karena itu, kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kadar bahan organik pada lapisan atas, dan bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan bahan organik. Di samping itu, kekahatan fosfor merupakan salah satu kendala terpenting bagi usaha tani di lahan masam. Hal ini karena sebagian besar koloid dan mineral tanah yang terkandung dalam tanah Ultisol mempunyai kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga sebagian besar fosfat dalam keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi tanaman maupun biota tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Kendala pengembangan lahan Podzolik Merah Kuning beriklim basah dengan topograsi bergelombang cukup kompleks. Kesalahan dalam pengelolaan merupakan penyebab degradasi lahan yang mendasar. Di daerah tropika basah yang topografinya bervariasi dari datar, bergelombang hingga bergunung, erosi tanah merupakan salah satu penyebab degradasi lahan yang dominan disamping penyebab lain seperti pencucian hara dan akumulasi unsur-unsur beracun.

Lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah didominasi oleh tanah masam PMK dengan bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al, 1994). Oleh karena itu lahan ini tergolong lahan marginal yang tingkat produktivitasnya rendah. Kesuburan tanah ini secara alamiah sangat tergantung pada lapisan atas yang kaya bahan organik tetapi bersifat labil. Kalau lahan ini diolah untuk budidaya, kandungan bahan organik yang memadai, produktivitas lahan cepat pula menurun dan akhirnya menjadi lahan kritis.

Tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering PMK yang krits tidak mampu berproduksi secara optimal jika dikelola secara konvensional (Hakim et al, 1997). Sedangkan pembuatan teras dan galengan memerlukan biaya yang tinggi dan petani tidak memiliki cukup biaya.

Sifat kimia dan fisika tanah PMK yang jelek merupakan kendala misalnya tanah yang bereaksi masam sampai sangat masam. Kandungan dan kejenuhan aluminiumnya tinggi yang dapat meracuni tanaman dan daya fiksasi yang tinggi terhadap Phospor.

Kandungan bahan organik, KTK dan kejenuhan basahnya umumnya rendah. Mineral liat umumnya didominasi oleh kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997). Dampak langsung dari wilayah yang mengalami erosi adalah terjadinya suatu areal yang secara bertahap menjadi tandus dengan konsekuensi penduduk yang tinggal disekitarnya akan menjadi miskin (Pandang dan Subandi, 1997).

Mineral Kaolin telah lama dikenal akan reaktivitasnya terhadap fosfat, karena kaolin merupakan mineral lempung yang merajai terutama pada tanah-tanah mineral masam seperti Ultisols, Alfisols dan Oxisols maka reaktivitasnya terhadap fosfat perlu dipertimbangkan sebagai landasan pengelolaan P pada tanah-tanah ini. Wild (1950) melakukan penelitian tentang reaksi fosfat dengan lempung alumino-silikat dan berkesimpulan bahwa montmorillonit dan kaolinit menjerap P dalam jumlah yang hampir sama apabila ukuran partikelnya serupa. Ia mengusulkan dua mekanisme retensi P oleh mineral-mineral lempung, yaitu pertukaran ion fosfat dengan gugus hidroksil pada lapisan gibbsite dan/atau sebagai anion tertukarkan yang mengimbangi muatan positif hasil protonasi ion. Muljadi et al. (1966) berkesimpulan bahwa isotherm retensi P adalah sama untuk kaolinit, gibbsite dan pseudoboehmite, perbedaannya adalah pada jumlah tapak retensi.

Oksida-oksida besi dan aluminium maupun lempung aluminosilikat, yang merupakan komponen utama fraksi lempung tanah-tanah mineral masam, mampu menjerap P. Meskipun demikian perlu disadari bahwa terdapat perbedaan kekuatan ikatan retensi yang bersumber pada perbedaan sifat ikatan antara anion fosfat dengan oksida-oksida besi dan lempung alumino silikat. Perbedaan ini akan menimbulkan perilaku dan tanggapan yang berbeda terhadap perlakuan pemberian fosfat ke dalam tanah sebagai pupuk. Dalam hubungan ini nisbah antara oksida besi dan lempung silikat perlu dipertimbangkan sebagai dasar pengelolaan P terutama pada tanah-tanah mineral masam. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kemampuan retensi P dari kaolin dan oksida-oksida besi yang diperoleh dari tanah-tanah mineral masam di Indonesia.

Tanaman kedelai mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan di tanah Ultisol asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Umumnya tanah tersebut mempunyai pH yang sangat masam hingga agak masam, yaitu sekitar 4.1-5.5, jumlah basa-basa dapat ditukar tergolong rendah hingga sedang dengan komplek adsorpsi didominasi oleh Al, dan hanya sedikit mengandung kation Ca dan Mg. Kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) lapisan atas tanah umumnya rendah hingga sedang (Subagyo et al., 2000).

Kekahatan kalium merupakan kendala yang sangat penting dan sering terjadi di tanah Ultisol. Masalah tersebut erat kaitannya dengan bahan induk tanah yang miskin K, hara kalium yang mudah tercuci karena KTK tanah rendah, dan curah hujan yang tinggi di daerah tropika basah sehingga K banyak yang tercuci. Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai di tanah masam dapat dilakukan melalui pengelolaan tanaman yang sesuai dan manipulasi tanah yang tepat. Pemupukan kalium memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produksi kedelai di tanah Ultisol. Hara kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah banyak setelah N dan P (Nursyamsi,2006)

Klasifikasi Kesesuaian Lahan FAO 1976

Pengertian Keseuaian Lahan:
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu.

Pengertian Klasifikasi Kesesuaian Lahan:
Klasifikasi kesesuaian lahan adalah perbandingan (matching) antara kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan.

Struktur Klasifikasi Keseuaian Lahan:
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka kerja FAO 1976 dalam Rayes (2007) adalah terdiri dari 4 kategori sebagai berikut:
(1) Ordo (Order): menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum.
(2) Klas (Class) : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
(3) Sub-Klas : menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan pada jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas.
(4) Satuan (Unit): menunjukkan tingkatan dalam sub-kelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya.


Kesesuaian Lahan Pada Tingkat Ordo:

Kesesuaian lahan pada tingkat Ordo berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu:

(1) Ordo S : Sesuai (Suitable)
Ordo S atau Sesuai (Suitable) adalah lahan yang dapat digunakan untuk penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumber daya lahannya. Penggunaan lahan tersebut akan memberi keuntungan lebih besar daripada masukan yang diberikan.

(2) Ordo N: Tidak Sesuai (Not Suitable)
Ordo N atau tidak sesuai (not suitable) adalah lahan yang mempunyai pembatas demikian rupa sehingga mencegah penggunaan secara lestari untuk suatu tujuan yang direncanakan.
Lahan kategori ini yaitu tidak sesuai untuk penggunaan tertentu karena beberapa alasan. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan lahan yang diusulkan secara teknis tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, misalnya membangun irigasi pada lahan yang curamyang berbatu, atau karena dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang parah, seperti penanaman pada lereng yang curam. Selain itu, sering pula didasarkan pada pertimbangan ekonomi yaitu nilai keuntungan yang diharapkan lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan.


Kesesuaian Lahan pada Tingkat Kelas

Pengertian Kelas Kesesuaian Lahan:

Kelas kesesuaian lahan merupakan pembagian lebih lanjut dari Ordo dan menggambarkan tingkat kesesuaian dari suatu Ordo.

Tingkat dalam kelas ditunjukkan oleh angka (nomor urut) yang ditulis dibelakang simbol Ordo. Nomor urut tersebut menunjukkan tingkatan kelas yang makin menurun dalam suatu Ordo.

Jumlah kelas yang dianjurkan adalah sebanyak 3 (tiga) kelas dalam Ordo S, yaitu: S1, S2, S3 dan 2 (dua) kelas dalam Ordo N, yaitu: N1 dan N2. Penjelasan secara kualitatif dari definisi dalam pembagian kelas disajikan dalam uraian berikut:

Kelas S1:
Kelas S1 atau Sangat Sesuai (Highly Suitable) merupakan lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk penggunaan secara lestari atau hanya mempunyai pembatas tidak berarti dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi serta tidak menyebabkan kenaikan masukan yang diberikan pada umumnya.

Kelas S2:
Kelas S2 atau Cukup Sesuai (Moderately Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan, serta meningkatkan masukan yang diperlukan.

Kelas S3:
Kelas S3 atau Sesuai Marginal (Marginal Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan.Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan. Perlu ditingkatkan masukan yang diperlukan.

Kelas N1:
Kelas N1 atau Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang lebih berat, tapi masih mungkin untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya yang rasional. Faktor-faktor pembatasnya begitu berat sehingga menghalangi keberhasilan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

Kelas N2:
Kelas N2 atau Tidak Sesuai Selamanya (Permanently Not Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat, sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari.


4 (Empat) Macam Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) dikenal empat macam klasifikasi kesesuaian lahan, yaitu:
(1) Kesesuaian lahan yang bersifat kualitatif.
(2) Kesesuaian lahan yang bersifat kuantitatif.
(3) Kesesuaian lahan aktual.
(4) Kesesuaian lahan potensial.


Daftar Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman.

Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.

Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jagung



Beberapa persyaratan dari karakteristik lahan yang menentukan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jagung (zea mays) adalah sebagai berikut:

(1) Tempeatur:
Karakterisitik lahan dari variabel Temperatur Tanah (tc) yang digunakan dalam penilaian kelas kesesuaian lahan, ditentukan dari karakteristik Rata-rata Temperatur Tanah, yaitu:
(a) antara 20oC s/d 26oC, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara lebih dari 26oC sampai dengan 30oC, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 16oC s/d 20oC atau antara 30oC s/d 32oC, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 16oC atau lebih dari 32oC, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(2) Ketersediaan Air:
Karakterisitik lahan dari variabel Ketersediaan Air (wa) yang digunakan dalam penilaian kelas kesesuaian lahan, ditentukan dari 2 (dua) karakteristik berikut, yaitu:

(2.1) Rata-rata Curah Hujan Tahunan:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut memiliki rata-rata curah hujan tahunan:
(a) antara 500 mm s/d 1.200 mm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 1.200 mm s/d 1.600 mm atau antara 400 mm s/d 500 mm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) lebih dari 1.600 mm atau antara 300 mm s/d 400 mm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 300 mm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(2.2) Prosentase Kelembaban Tanah:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut mengandung prosentase kelembaban tanah:
(a) lebih dari 42%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 36% s/d 42%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 30% s/d 36%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 30%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(3) Ketersediaan Oksigen:
Karakterisitik lahan dari variabel Ketersediaan Oksigen (oa) yang digunakan dalam penilaian kelas kesesuaian lahan, ditentukan dari kondisi: Drainase, yaitu:
(a) drainase: baik s/d agak terhambat, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) drainase: agak cepat, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) drainase: terhambat, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) drainase: sangat terhambat atau cepat, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(4) Media Perakaran:

Karakterisitik lahan dari variabel Media Perakaran (rc) ditentukan dari 3 (tiga) karakteristik berikut, yaitu:

(4.1) Tekstur Tanah:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut tanahnya bertekstur:
(a) halus (h), agak halus (ah), dan sedang (s), maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) halus (h), agak halus (ah), dan sedang (s), maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) agak kasar (ak) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kasar maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(4.2) Bahan Kasar:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut mengandung prosentase bahan kasar:
(a) kurang dari 15%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 15% s/d 35%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 35% s/d 55%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 55%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(4.3) Kedalaman Tanah:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut memiliki kedalaman tanah:
(a) lebih dari 60 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 40 cm s/d 60 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 25 cm s/d 40 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 25 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(5) Kondisi Gambut:
Karakterisitik lahan dari variabel Kondisi Gambut ditentukan dari 3 (tiga) karakteristik berikut, yaitu:

(5.1) Ketebalan Gambut:
Apabila lahan yang dinilai tergolong tanah gambut dengan ketebalan gambut:
(a) kurang dari 60 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 60 cm s/d 140 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 140 cm s/d 200 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 200 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(5.2) Gambut dengan Sisipan/Pengkayaan Bahan Mineral:
Apabila lahan yang dinilai termasuk tanah gambut tetapi dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral dengan ketebalan:
(a) kurang dari 140 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 140 cm s/d 200 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 200 cm s/d 400 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 400 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(5.3) Tingkat Kematangan Gambut:
Apabila lahan yang dinilai memiliki tanah dengan tingkat kematangan gambut:
(a) kategori safrik +, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara kategori hemik + s/d safrik, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara fibrik + s/d hemik, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kategori fibrik, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(6) Retensi Hara:
Karakterisitik lahan dari variabel Retensi Hara (nr) ditentukan dari 4 (empat) karakteristik berikut, yaitu:

(6.1) KTK Liat:
Apabila KTK liat:
(a) lebih besar dari 16 cmol maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1; dan
(b) sama dengan 16 cmol, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2.

(6.2) Kejenuhan Basa:
Apabila prosentase kejenuhan basa:
(a) lebih dari 50% maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 35% s/d 50%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2; dan
(c) kurang dari 35%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3.

(6.3) pH H2O:
Apabila pH H2O tanah:
(a) antara pH 5,8 s/d pH 7,8, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara pH 5,5 s/d pH 5,8 atau pH 7,8 s/d pH 8,2, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2; dan
(c) kurang dari pH 5,5 atau lebih dari pH 8,2, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3.

(6.4) C-organik:
Apabila prosentase kandungan C-organik tanah:
(a) lebih dari 0,4% maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1; dan
(b) sama dengan 0,4%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2.


(7) Toksisitas:
Karakterisitik lahan dari variabel Toksisitas (xc) ditentukan dari karakteristik: Salinitas (dS/m), yaitu:
Apabila salinitas:
(a) kurang dari 4 (dS/m) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 4 dS/m s/d 6 dS/m, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 6 dS/m s/d 8 dS/m, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 8 dS/m, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(8) Sodisitas:
Karakterisitik lahan dari variabel Sodisitas (xn) ditentukan dari karakteristik: Prosentase Alkalinitas atau Prosentase ESP, yaitu:
Apabila prosentase alkalinitas:
(a) kurang dari 15%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 15% s/d 20%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 20% s/d 25%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 25%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(9) Bahaya Sulfidik:

Karakterisitik lahan dari variabel Bahaya Sulfidik (xs) ditentukan dari karakteristik: Kedalaman Sulfidik (cm), yaitu:
Apabila kedalaman sulfidik:
(a) lebih dari 100 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 75 cm s/d 100 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 40 cm s/d 75 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 40 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(10) Bahaya Erosi:
Karakterisitik lahan dari variabel Bahaya Erosi (eh) ditentukan dari dua karakteristik berikut, yaitu:

(10.1) Prosentase Lereng:
Apabila prosentase lereng:
(a) kurang dari 8% termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 8% sampai dengan 16% termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 16% sampai dengan 30% termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 30% termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(10.2) Bahaya Erosi:
Apabila bahaya erosi yang akan terjadi:
(a) sangat ringan (sr) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara ringan (r) s/d sedang (sd) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) berat (b) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) sangat berat (sb) maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(11) Bahaya Banjir:
Karakterisitik lahan dari variabel Bahaya Banjir (fh) ditentukan dari karakteristik: Genangan, yaitu:
(a) apabila tingkat genangan tergolong F0, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) apabila tingkat genangan tergolong F1, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) apabila tingkat genangan tergolong F2, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3;
(d) apabila tingkat genangan tergolong > F2, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N;


(12) Penyiapan Lahan:

Karakterisitik lahan dari variabel Penyiapan Lahan (lp) ditentukan dari dua karakteristik berikut, yaitu:

(12.1) Prosentase Batuan di Permukaan:
Apabila prosentase batuan di permukaan:
(a) kurang dari 5% termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 5% sampai dengan 15% termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 15% sampai dengan 40% termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 40% termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(12.2) Prosentase Singkapan Batuan:
Apabila prosentase singkapan batuan:
(a) kurang dari 5% termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 5% sampai dengan 15% termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 15% sampai dengan 25% termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 25% termasuk kelas kesesuaian lahan N.


Sumber Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com

Djaenudin, et al. (1994, 1999, 2005) dalam Rayes (2007)

Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.

Kesuburan Biologi (Mikrobiologi) Tanah



Tanah dikatakan subur bila mempunyai kandungan dan keragaman biologi yang tinggi

Table 1. Maximum number and biomass (live weight) of soil organisms in a highly fertile grassland soil



Organisme (mikroorganisme) tanah penting dalam kesuburan tanah karena
1. berperan dalam siklus energi
2. berperan dalam siklus hara
3. berperan dalam pembentukan agregat tanah
4. menentukan kesehatan tanah (suppressive / conducive terhadap munculnya penyakit terutama penyakit tular tanah-soil borne pathogen)

1. Siklus energi
- Sumber energi utama adalah matahari yang diubah oleh tanaman melalui proses fotosintesis menjadi bahan organik
- Beberapa mikroorganisme mampu melakukan fotosinthesis (menangkap energi matahari: algae)
- Sumber energi yang lain adalah hasil oksidasi-reduksi mineral anorganik: S dan Fe
- Energi dalam bahan organik dimanfaatkan oleh organisme/mikroorganisme
- Organisme dekomposer: milipede dll.
- Mikroorganisme dekomposer: jamur dan bakteri
- Mikroorganisme yang tumbuh di rhizosfer memanfaatkan energi dalam eksudat akar: bakteri Azotobacter

2. Siklus hara
Mikroorganisme mempunyai peran yang sangat penting dalam siklus hara karena:
1. ukurannya yang kecil sehingga mempunyai rasio permukaan:volume yang sangat besar
 memungkinkan pertukaran material (hara) dari sel ke lingkungannya dengan sangat cepat
2. reproduksi yang sangat cepat (dalam hitungan menit)
3. distribusi keberadaan yang sangat luas

Macam-macam siklus hara penting
a. Siklus Nitrogen
- Pool N terbesar di udara sebagai gas N2
- N menjadi tersedia melalui proses fiksasi (kimia maupun mikrobiologis)
(nitrogen fixer: rhizobium dll)
- N organik (dalam jaringan mahluk hidup - bentuk protein, asam amino dan asam nukleat) menjadi N anorganik melalui proses mineralisasi NH4+ (ammonium) == MO dekomposer
- NH4+ mengalami Nitrifikasi oleh Nitrosomonas, Nitrosococcus dan Nitrosovibrio
- NO2- menjadi NO3- oleh Nitrobacter dan Nitrococcus
- NO3- mengalami Denitrifikasi menjadi NO2- oleh Pseudomonas, Bacillus dan Alcaligenes
- N anorganik dapat diasimilasi oleh mikroorganisme == Imobilisasi


b. Siklus Sulfur
- Oksidasi sulfur menjadi sulfat oleh Thiobacillus, Arthrobacter dan Bacillus
2H2S + O2  2S + 2H2O
2S + 2H2O + 3O2  2SO42- + 4H+
S2O32- + H2O + 2O2  2SO42- + 2H+

- Reduksi Sulfat menjadi sulfida (S2-) oleh Desulphovibrio desulphuricans
2SO42- + 4H2  S2- + 4H2O
c. Siklus fosfor
- Fosfor di alam dalam bentuk terikat sebagai Ca-fosfat, Fe- atau Al-fosfat, fitat atau protein
- Mikroorganisme (Bacillus, Pseudomonas, Xanthomonas, Aerobacter aerogenes) dapat melarutkan P menjadi tersedia bagi tanaman

3. Pembentukan agregat tanah
- organisme tanah menghasilkan polimer organik (misal humic dan fulvic acids) yang mengikat partikel lempung menjadi mikro agregat
- pembentukan mikroagregat menjadi makro agregat dimediasi oleh bahan organik dan berbagai jenis mikro dan makroorganisme (bakteri, jamur-terutama jamur VAM, algae, cacing, semut, serangga dsb.).

4. Kesehatan tanah
- tanah suppressive terhadap patogen tular tanah umumnya mempunyai total mikroorganisme yang lebih besar dari tanah yang kondusif
- kompetisi nutrisi
- Amuba memakan jamur
- populasi Pseudomonas spp (antagonistic bakteria) atau Trichoderma tinggi

Penilaian Kesuburan Tanah



Penilaian kesuburan tanah merupakan proses yg mendiagnosis permasalahan unsure hara dan menerapkan anjuran dlm hal pemupukan. Proses mendiagnosis msl unsur hara tnm dan menetapkan anjuran pupuk di wil tropika didasarkan pd pendekatan yg berbeda pd tahap kecanggihan yg berlainan
Program penilaian kesuburan tanah dpt dipilahkan menjadi: uji-tanah, analisis tanaman, omission element di rumah kaca, uji coba pupuk sederhana

1. Berdasarkan pada uji-tanah
- Salah satu pendekatan yg terpopuler
- Dikembangkan oleh International Soil Fertility Evaluation and Improvement Program, ISFEIP.
- Kesuburan tanah terutama bersangkut dg unsure hara tnm dan kead tanah
- Penilaian menyangkut tk ketersediaan & kesetimbangan hara di dalam tanah, termasuk cara yg tepat untuk menaksir seluruh faktor tsb (uji-tanah, analisis tnm, sigi tanah, kead iklim)
- Perbaikan meliputi penamb pupuk buatan, gamping, pupuk alam, dan tambahan lain pd tanah dlm jml, waktu & cara ttt, shg dpt memberi lingkungan hara yg optimum utk memperoleh hsl panen
- Program penilaian & perbaikan tanah adl khas-tempat & khas keadaan.
- Penggunaan informasi yg bijaksana mencakup pertimb thd bbrp faktor yg pengaruhi prod, tng kerja, ekonomi & ekologi
- Hanya uji-tanah saja tidak dianggap sbg cara pendekatan yg memuaskan
- Nilai yg diperoleh dlm analisis tanah adl angka empiris yg hanya berarti bila dikorelasikan dg tanggapan hasil
- Menurut Fitts (1974) melibatkan :
a. pengambilan contoh (tanah dan tanaman), CT hrs benar2 mewakili tapak, krn hanya diuji sepermilyarnya
b. analisis laboratorium (tanah dan tanaman), perlu metode yg sesuai dan benar
c. hubungan antara analisis dan tanggapan hasil, di rumah kaca & uji coba lapangan
d. penafsiran dan anjuran, berdasarkan hasil
e. memanfaatkan informasi
f. penelitian

2. Berdasarkan analisis tanaman
- berkembang di daerah tanpa system uji-tanah efektif
- untuk tanaman tahunan dan jangka panjang
- Keuntungannya: merangkumkan pengaruh peubah tanah, tanaman, iklim & pengelolaan
- merup ukuran terakhir ketersediaan unsur hara
- kerugiannya: terlambat untuk memperbaiki kondisi hara tanpa menderita kerugian hasil
- Tujuan:
a. Untuk mengenali masalah keharaan dan menetapkan jumlah perbaikannya melalui penentuan tingkat gawat
b. Menghitung nilai penyerapan unsur hara sbg kunci utk penggunaan pupuk
c. Memantau unsur hara tnm tahunan

3. Berdasarkan pemantauan unsur hara yang hilang
- Termsk menanam tnm penunjuk di dlm rumah kaca atau di lap pd tanah yg diberi pupuk scr omission element
- Mnrt Chaminade (1972), informasi yg diperoleh adl:
a. unsur hara yang kahat
b. kepentingan nisbi kekahatan itu
c. tingkat yg tunjukkan terkurasnya kesuburan akibat pemotongan/penebangan

4. Uji coba pupuk scr sederhana di ladang petani
- dikembangakan oleh Food and Agricultural Organization (FAO)
- bertujuan utk memperkenalkan pupuk sbg sarana utk menaikkan hsl panen di tropika
- mengesampingkan keaneka ragaman tanah setempat
- tidak dapat dibuat anjuran khas-tempat

5. Hubungan antara kesuburan tanah dan penggolongan tanah
- anjuran penggunaan pupuk adalah khas-tempat
- perbedaan sifat tanah merup salah satu penyebab utama utk kekhasan menurut tempat
- program penilaian kesuburan tanah hrs berhub erat dg program penyigian dan penggolongan tanah