I. PENDAHULUAN.
1.1. Latar Belakang
Isu tentang degradasi lahan dan hutan yang gencar muncul di berbagai wacana, menuntut pemerintah dan masyarakat untuk segera menindak lanjuti dengan tindakan yang nyata. Tindakan nyata tersebut tentu saja harus disertai dengan perencanaan yang matang dari berbagai aspek. Salah satu aspek yang menonjol dalam hal ini adalah aspek pengelolaan lahan. Dalam perencanaan pengelolaan lahan, informasi yang dibutuhkan salah satunya adalah tentang potensi lahan dan kesesuaiannya untuk jenis tanaman tertentu. Informasi ini diperlukan terutama untuk menentukan kegiatan atau jenis konservasi tanah yang harus dilakukan. Selain itu informasi tentang kesesuaian lahan juga diperlukan untuk menentukan sistem silvikutur hutan tanaman, HTI, tanaman semusim dan hutan rakyat.
Hutan rakyat sebagai salah satu jenis konservasi tanah sangat strategis dilakukan karena selain berfungsi ekologi juga berfungsi ekonomi. Penurunan produksi hutan alam/hutan tanaman berakibat menurunnya pasokan kayu, sehingga diperlukan sumber-sumber lain di luar kawasan hutan. Salah satu sumber kayu yang potensial adalah hutan rakyat.. Fungsi ekonomi hutan rakyat terutama untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja. Sedangkan fungsi ekologi antara lain untuk meningkatkan kesuburan tanah serta menciptakan kondisi ekologi hutan seperti pada hutan alam. Dengan adanya perbaikan ekologi akan memungkinkan bagi tumbuhnya jenis-jenis baru secara alami sehingga meningkatkan penutupan lahan dan menurunkan erosi (Triwilaida, 1997).
Sistem perencanaan pengelolaan hutan perlu dilakukan secara berjenjang, dengan tingkat skala yang berbeda pula. Di tingkat nasional dan propinsi, dibutuhkan perencanaan umum yang berskala tinjau (reconnaisance scale) yang memuat arahan umum program Hutan Rakyat dan lokasi pengembangan. Pada lokasi pengembangan dibutuhkan suatu perencanaan operasional yang lebih detil dan terpadu, yang memuat informasi tentang kemampuan lahan dan kesesuaian jenis tanaman disamping perencanaan beberapa sarana pendukung eksplorasi lainnya.
Untuk mendukung suatu perencanaan yang menyeluruh, maka dibutuhkan suatu perangkat pengelolaan dan perencanaan yang mampu memadukan informasi yang kompleks. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah perangkat analisa yang dapat digunakan untuk memadukan informasi geografis dan atribut bagi keperluan perencanaan dan pengelolaan. Dengan dukungan SIG, maka perencanaan dapat disusun berdasarkan suatu analisis yang melibatkan banyak parameter, sehingga akan dapat meningkatkan akurasi perencanaan tersebut.
Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, maka Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS (BP2TPDAS IBB) menyusun suatu pedoman tentang Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan. Pedoman ini merupakan revisi dari Pedoman Teknis Kesesuaian Lahan dan Jenis-jenis HTI (1999). Revisi ini dilakukan berdasarkan dari kajian yang dilakukan Balai Teknologi Pengelolaan DAS (BTPDAS) Surakarta pada tahun 1994 -1996 dengan melakukan kajian tentang Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan HTI pada tingkat skala operasional yang didukung oleh aplikasi SIG dan Hasil Uji Coba di beberapa wilayah HTI di Sumatera, Kalimantan dan Jawa (wilayah Perum Perhutani). Revisi tersebut terutama adalah pada kriteria kesesuaian lahan ditambah dengan kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa jenis tanaman industri, tanaman pangan dan tanaman buah yang diperoleh dari pengalaman pelaksanaan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan kerjasama dengan Perum Perhutani mulai tahun 1999 s/d 2003.
1.2. Maksud, Tujuan dan Manfaat.
Petunjuk Teknis ini dimaksudkan untuk menyajikan uraian dan memberi tuntunan (guidance) tentang proses klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan. Dalam klasifikasi ini akan digunakan fasilitas SIG. Hasil klasifikasi diharapkan dapat digunakan untuk kegiatan pengelolaan lahan terutama untuk kegiatan pengembangan Hutan Rakyat dan mendukung silvikultur hutan tanaman baik program PHBM maupun HKM.
Sistem informasi yang disusun dalam proses klasifikasi dengan SIG ini akan dapat digunakan sebagai alat pemantau kondisi fisik lahan. Informasi tentang kondisi fisik lahan yang diperoleh dari inventarisasi sumber daya lahan akan merupakan suatu informasi biofisik dan geofisik yang bermanfaat untuk perencanaan yaitu untuk mengalokasikan jenis-jenis tanaman yang direkomendasikan. Seluruh informasi tersebut merupakan masukan penting bagi pemerintah dan masyarakat dalam rangka penyusunan suatu rencana operasional pengembangan hutan rakyat dan hutan tanaman.
1.3. Tahapan Kerja.
Secara umum untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan yang didukung oleh pendayagunaan SIG terbagi menjadi dua kegiatan pokok, yaitu Inventarisasi Sumber Daya Lahan (ISDL) sebagai masukan data (data entry) dan pendayagunaan SIG dengan menggunakan data ISDL tersebut untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan. Dua kegiatan tersebut membutuhkan penguasaan bidang yang berbeda. Kegiatan ISDL akan lebih menekankan pada keahlian survei evaluasi lahan dan tanah dengan dukungan penafsiran citra baik foto udara maupun citra satelit. Sedangkan kegiatan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dengan SIG lebih menuntut kemampuan di bidang komputer dan analisa sistem. Persyaratan keahlian sebagai akibat dari dua kegiatan yang berbeda tersebut perlu diperhatikan dalam penetapan kriteria pemilihan personil yang akan melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
Berdasarkan dua jenis kegiatan tersebut, maka prosedur pendayagunaan SIG untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dapat dirinci menjadi tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap survei lapangan dan pengumpulan data penunjang, serta tahap analisa klasifikasi. Tahap persiapan dan survei lapangan yang disertai pengumpulan data penunjang merupakan kegiatan ISDL, sedang tahap analisa klasifikasi merupakan kegiatan pendayagunaan SIG untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan. Urutan tahapan kerja selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1. Uraian selanjutnya petunjuk teknis ini akan mendasarkan pada urutan kerja Gambar 1 tersebut.
II. INVENTARISASI SUMBER DAYA LAHAN (ISDL)
Hudson (1992) menyebutkan bahwa tidak ada orang yang merencanakan suatu industri tanpa mempelajari terlebih dahulu berapa banyak bahan baku yang tersedia. Demikian pula pengelolaan hutan rakyat dan hutan tanaman perlu mengetahui potensi aktual lahan hutan yang sekarang dikelola sehingga dapat direncanakan langkah-langkah yang perlu di ambil untuk penyempurnaan pengelolaan berikutnya.
Inventarisasi sumber daya lahan adalah inventarisasi informasi fisik tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan pengelolaan lahan dan konservasi tanah. Tindakan pengelolaan dan konservasi merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka proses produksi yang lestari. Pertanyaan selanjutnya adalah, faktor-faktor manakah yang perlu untuk dikumpulkan dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan dan bagaimana caranya.
Secara umum faktor-faktor yang dikumpulkan dapat dikelompokkan menjadi dua grup yaitu faktor yang bersifat permanen (misalnya bentuk lahan, tipe batuan, jenis tanah dsb) dan faktor yang bersifat dinamis (misalnya kondisi vegetasi, erosi dsb). Faktor-faktor tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti peta-peta, hasil penelitian terdahulu, survei lapangan yang dibantu dengan penafsiran foto udara dan klasifikasi citra satelit. Petunjuk teknis ini akan membahas tentang ISDL yang dilaksanakan melalui survei lapangan yang didukung penafsiran foto udara dan peta dasar serta peta tematik yang ada.
Sebenarnya aktivitas inventarisasi sumber daya lahan bukan suatu hal yang baru, namun yang sering terjadi adalah suatu kegiatan pengumpulan data-data mati, artinya banyak data terkumpul yang tidak saling mengkait dan tidak ada telaah lebih jauh dari data tersebut. Sering juga terjadi data-data terkumpul hanya digelar tanpa pendayagunaan lebih lanjut. Hal ini sering dilakukan terhadap data-data hasil perisalahan lapangan.
Dalam proses perencanaan pengelolaan hutan, kegiatan ISDL sebetulnya juga telah banyak dilaksanakan yaitu melalui kegiatan perisalahan lapangan atau survei-survei lainnya. Perisalahan lapangan tersebut sebetulnya juga suatu kegiatan inventarisasi sumber daya lahan, tetapi selama ini data hasil perisalahan hanya digunakan untuk menyajikan gambaran umum lokasi. Hasil risalah lapangan yang lalu kemungkinan masih bisa digunakan untuk ISDL terutama data-data karakteristik tanah dan lahan yang sifatnya permanen.
2.1. Bahan dan Alat yang Dibutuhkan
Bahan dan alat yang dibutuhkan untuk kegiatan inventarisasi sumber daya lahan terdiri dari peta dan foto udara, perangkat penafsiran foto udara dan perangkat pengelola data. Bahan:
- Peta topografi atau rupa bumi 1 : 50 000 sebagai peta dasar
- Foto udara skala 1 : 50 000 atau lebih besar
Peralatan:
- Peralatan tulis dan untuk penafsiran foto
- Peralatan lapangan untuk survei tanah.
- Peralatan penafsiran foto udara: stereoskop cermin dan saku, zoom transferscope
- Perangkat pengelola data: terdiri dari perangkat keras (komputer, digitizer, printer dan plotter) dan perangkat lunak (program SIG dan program pengelolaan data dasar).
2.2. Pembatasan Unit Lahan. Pembatasan unit lahan dilakukan melalui penafsiran citra, baik foto udara maupun citra satelit. Penafsiran foto udara atau klasifikasi citra satelit pada tahap persiapan dititikberatkan untuk membatasi satuan lahan yang mempunyai karakteristik fisik yang sama. Dalam hal ini digunakan satuan bentuk lahan (landform). Hasil dari tahap ini akan menjadi masukan data yang berupa data grafis pada SIG. Satuan lahan ini selanjutnya dapat digunakan untuk referensi batas petak, sehingga setiap petak akan mempunyai karakteristik fisik yang sama. Dengan demikian disarankan batas petak menggunakan batas alam. Prosedur pembatasan unit lahan dapat diuraikan sebagai berikut:
- Persiapan
- Siapkan stereoskop cermin
- Siapkan pasangan foto udara yang akan digunakan untuk penafsiran
- Siapkan kertas transparansi dan pena transparansi
- Siapkan peta-peta dasar yang berupa peta topografi skala 1 : 50 000, peta petak skala 1 : 50 000 dan peta geologi skala 1 : 250 000.
- Tempelkan kertas transparansi di atas foto udara dengan selotip.
- Identifikasi Lokasi
- Identifikasikan lokasi dengan penandaan gambaran yang mudah ditentukan, misalnya desa, jalan, sungai dsb.
- Identifikasikan lokasi tersebut pada peta-peta dasar yang ada.
- Delineasi Unit Lahan
- Batasi tiap-tiap satuan bukit dan dataran sebagai satu satuan bentuk lahan (landform unit).
- Setiap satuan bentuk lahan dibagi lagi menjadi beberapa unit berdasarkan keseragaman kemiringan lereng.
- Unit yang ada dibagi lagi berdasarkan jenis tanaman dan kelompok umur tanaman yang ada. Satuan terkecil yang diperoleh tersebut merupakan unit lahan yang akan dinilai parameter-parameter fisik lahannya. Contoh pembatasan unit lahan dengan bantuan foto udara dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.
- Transfer Batas Unit Lahan ke Peta Dasar.
- Hasil penafsiran foto udara perlu ditransfer ke peta dasar. Peta dasar yang digunakan adalah peta petak skala 1 : 25 000 atau 1 : 50 000
- Perlu dicatat bahwa foto udara yang digunakan mungkin mempunyai skala yang berbeda dengan peta dasar sehingga dibutuhkan alat bantu yang disebut Zoom trasferscope. Bila alat bantu (zoom transferscope) tersebut tidak tersedia maka pemindahan hasil penafsiran bisa menggunakan cara bebas (free hand).
Gambar 1. Pembatasan Unit Lahan : Gambaran Unit lahan di Lapangan (atas) Pembatasan Unit Lahan di Foto Udara
2.3. Penafsiran Parameter Parameter fisik yang dikumpulkan dalam inventarisasi sumber daya lahan terdiri dari:
- Aspek Lahan: – Bentuk lahan – Kemiringan dan arah lereng – Kondisi drainase – Kondisi permukaan
- Aspek Tanah – Jenis tanah – Tipe batuan dan kedalaman regolit – Kedalaman tanah – Sifat fisik tanah – Keasaman tanah (pH tanah)
- Kondisi Erosi – Jenis dan tingkat erosi – Prosentase lahan tererosi dalam satu satuan lahan.
- Aspek Tanaman
- Aspek Iklim – Rata-rata hujan setahun (dari rekaman data 10 tahun terakhir) – Jumlah bulan basah dalam setahun – Jumlah bulan kering dalam setahun
Keterkaitan masing-masing parameter dan cara identifikasinya diuraikan pada bab berikut.
1. Bentuk Lahan
Bentuk lahan (landform) menguraikan tentang jenis-jenis terain khusus dan menempatkan satuan peta inventarisasi ke dalam bentang lahan (landscape). Cara yang mudah untuk identifikasi di foto udara menggunakan bentang lahan dan kelerengan (topografi). Klasifikasi bentuk lahan dapat diperoleh dari Katalog Bentuk Lahan (Desaunettes, 1977) dan Kucera (1988). Disarankan untuk menggunakan klasifikasi Kucera (1988) karena lebih sederhana tetapi lengkap.
Bentuk lahan memberikan gambaran pada kita tentang kondisi lokasi secara umum. Melalui informasi bentuk lahan juga dapat diperoleh gambaran karakteristik lahan yang lain, misalnya bentuk lahan yang bergunung akan mempunyai jenis-jenis tanah tertentu, biasanya kelerengannya curam dan solum tanahnya relatif dangkal. Sebaliknya bentuk lahan aluvium akan memberi gambaran tentang kondisi yang datar dengan drainase yang kurang baik, teksturnya halus dan solum tanahnya dalam.
Penilaian parameter bentuk lahan akan disesuaikan dengan skala surveinya. Pada skala detil misalnya, bentuk lahan bukit (hill) dapat dirinci lagi menjadi puncak bukit, lereng atas, lereng tengah atau lereng bawah. Sedangkan skala tinjau cukup disajikan bukit saja. Pada perisalahan hutan, skala yang digunakan adalah skala semi detil didukung dengan foto udara skala 1 : 50 000 atau lebih besar lagi, sehingga deskripsi bentuk lahan perlu diuraikan detil.
2. Kemiringan dan Arah Lereng.
Informasi kemiringan dan arah lereng sangat diperlukan bagi pengelolaan lahan. Parameter kelerengan juga digunakan untuk klasifikasi beberapa keperluan, misalnya untuk penentuan fungsi lindung dan budidaya. Jadi informasi ini sangat dibutuhkan untuk keperluan pengelolaan termasuk pengelolaan hutan.
Keterkaitan kelerengan lahan dengan parameter lain cukup dominan. Biasanya pada topografi yang berbeda, yang berarti kemiringan lerengnya berbeda, maka perkembangan tanahnya juga berbeda. Perbedaan perkembangan tanah juga berarti ada perbedaan karakteristiknya. Perkembangan tanah juga dipengaruhi oleh arah lereng, karena perbedaan arah lereng akan mempengaruhi kecepatan pelapukan batuan menjadi tanah. Dengan demikian maka kemiringan lereng biasanya mengandung konsekuensi perbedaan tekstur tanah, kondisi drainase, jenis tanaman dan kedalaman tanah.
Ada beberapa klasifikasi kemiringan lereng yang penggunaannya tergantung tujuan pada klasifikasi tersebut. Setiap departemen akan mempunyai klasifikasi sendiri sesuai tujuannya. Bila ditujukan untuk menentukan areal transmigrasi, misalnya, akan berbeda dengan klasifikasi yang ditujukan untuk ekstensifikasi pertanian. Dalam buku ini, klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi di sektor kehutanan.
Untuk survei sumber daya lahan tingkat detil, informasi tambahan tentang lereng perlu dicatat, misalnya panjang lereng dan bentuk lereng.
3. Kondisi Drainase.
Parameter kondisi drainase perlu dicatat dalam kaitannya untuk penentuan klasifikasi baik kemampuan maupun kesesuaian lahan. Parameter ini dibutuhkan mengingat pengaruhnya yang besar pada pertumbuhan tanaman. Keterkaitan parameter ini dengan parameter fisik lainnya cukup besar. Pada daerah aluvial biasanya mempunyai drainase yang relatif jelek daripada pada daerah miring. Namun demikian pada lereng bukit yang bentuknya kompleks, dimungkinkan adanya cekungan atau dataran di sepanjang lereng tersebut, sehingga kondisi drainase di cekungan maupun dataran di lereng akan berbeda dengan kondisi drainase umum di lereng tersebut. Kondisi drainase pada lahan dengan batuan induk kapur akan berbeda dengan batuan vulkanik, karena kapur dapat meloloskan air, sedangkan batuan induk vulkanik umumnya didominasi oleh tekstur halus yang sulit dilalui air.
Klasifikasi kondisi drainase dinyatakan dalam suatu keadaan yang nisbi, karena sulit untuk dibuat kuantitatif. Jadi klasifikasi akan didasarkan pada deskripsi penciri yang ada. Kondisi drainase jelek, misalnya, dicirikan oleh adanya bercak-bercak (motling) di profil tanah. Makin banyak bercak dan makin dekat posisinya ke permukaan, maka kondisi drainasenya makin buruk.
4. Kondisi Permukaan lahan
Kondisi permukaan lahan dinyatakan dalam prosentase batuan singkapan (barerock) dan adanya batu di permukaan (rockness) terhadap luas unit lahan. Informasi kondisi permukaan lahan yang menyangkut batuan singkapan dan bebatuan di permukaan sangat diperlukan dalam kaitannya dengan kemungkinan untuk penerapan tumpangsari tanaman semusim. Pada kondisi tanah yang berbatu atau tersingkap, tidak mungkin dilaksanakan pengolahan tanah yang baik karena adanya gangguan tersebut. Disamping itu, prosentase batuan tersingkap yang cukup luas akan mengurangi jumlah tanaman per satuan luas karena pada bebatuan tersebut tidak mungkin dilaksanakan penanaman.
Terjadinya kondisi tanah yang berbatu dan tersingkap dapat disebabkan oleh dua tenaga yang berbeda. Apabila batuan permukaan dan singkapan batuan tersebut terjadi pada daerah datar, maka dapat diidentifikasi bahwa daerah tersebut terjadi karena pengangkatan oleh tenaga endogen. Sedangkan bila kondisi tersebut terjadi pada lereng-bukit maka dimungkinkan fenomena tersebut terjadi karena tenaga eksogen, dalam hal ini adalah erosi dan pengikisan. Dengan demikian apabila suatu lokasi mempunyai kelerengan yang terjal dan prosentase singkapan batuan yang besar maka dapat dikatakan tingkat erosi yang terjadi juga tinggi.
Bagi pengelola hutan, informasi kondisi permukaan ini sangat diperlukan karena prosentase singkapan dan batuan permukaan yang besar terhadap unit lahan mengandung arti luasan lahan tidak produktif yang besar pula. Perhitungan luasan lahan tidak produktif atau terdegradasi lanjut sangat penting karena mempengaruhi efisiensi produksi.
5. Jenis Tanah
Jenis tanah akan sangat dipengaruhi oleh jenis batuan indukn, iklim dan vegetasinya. Klasifikasi tanah yang umum dilaksanakan menggunakan US Soil Taxonomy atau klasifikasi Indonesia. Apapun metode klasifikasi yang digunakan jenis tanah akan selalu berkaitan dengan karakteristik fisik lahannya. Cara klasifikasi tanah yang umum digunakan akan diuraikan tersendiri. Dengan demikian apabila suatu lahan mempunyai jenis tanah Entisol, maka kedalaman tanah tersebut umumnya dangkal, sedangkan tanah Vertisol hanya bisa terjadi pada daerah dataran dan atau berkapur.
Informasi jenis tanah biasanya dapat diperoleh dari peta tanah yang tersedia. Pada umumnya peta tanah yang ada mempunyai skala kecil (1 : 100 000 atau 1: 250 000) hanya lokasi-lokasi tertentu saja yang dipetakan secara detil. Hal ini disebabkan adanya proyek khusus yang besar. Namun demikian informasi yang diperoleh dari peta tetap bisa dimanfaatkan terutama deskripsi profil tanahnya. Dengan berbekal pengetahuan dari deskripsi profil tanah pada peta tanah, maka akan dapat diidentifikasi jenis-jenis tanah di lapangan. adapun pembeda antara peta tanah dengan hasil survei yaitu batas tiap jenis tanah .
6. Tipe Batuan dan Kedalaman Regolit.
Tipe batuan penting untuk diketahui karena menentukan parameter yang lain. Adanya perbedaan tipe batuan pembeda tanah akan membedakan cara pengelolaan tanah tersebut. Pengelolaan tanah yang berkembang dari batu kapur, misalnya, akan berbeda dengan pengelolaan tanah yang berkembang dari batuan vulkanik. Oleh karena itu tipe batuan sering digunakan untuk kriteria klsifikasi kemampuan lahan pada tingkat Unit.
Secara umum tipe batuan dibagi menjadi tiga, yaitu batuan beku, batuan sedimen dan batuan malihan (metamorf). Batuan beku/vulkanik (igneous rocks) adalah batuan yang terbentuk dari magma yang mengeras atau membeku. Batuan sedimen (sedimentary rocks) adalah sedimen yang mengalami konsolidasi dari hasil erosi yang terangkut dari batuan endapan, batuan beku atau batuan metamorf. Sedangkan batuan malihan/metamorf (metamorphic rocks) adalah batuan yang telah mengalami perubahan struktur kimia atau mineral sebagai akibat dari perubahan temperatur, tekanan, tegangan geser atau lingkungan kimiawi. Masing-masing tipe batuan mempunyai watak sendiri-sendiri sehingga parameter yang dipengaruhi oleh tipe batuan tertentu akan mempunyai watak yang berbeda terhadap parameter yang dipengaruhi oleh tipe batuan lain.
Tipe batuan akan menentukan bentuk lahannya. Jenis tanah juga sangat ditentukan oleh tipe batuan karena tanah terbentuk dari pelapukan batuan. Pengaruh lebih jauh adalah kepekaan tanah terhadap erosi. Tanah yang terbentuk dari batuan kapur akan mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda dibandingkan dengan tanah yang berkembang dari batuan vulkanik.
Untuk mempermudah identifikasi tipe batuan di lapangan, dapat digunakan Peta Geologi. Peta tersebut dapat diperoleh di Museum Geologi Bandung dan untuk wilayah Jawa telah tersedia dengan skala 1 : 250 000. Informasi yang diperoleh dari peta ini masih bersifat global, sehingga perlu dirinci pada saat survei lapangan.
Kedalaman regolit agak sulit diperkirakan di foto udara, sehingga perlu di selidiki dan diukur di lapangan. Pengukuran kedalaman regolit dilakukan mulai dari permukaan lahan sampai suatu kedalaman tanah dimana batuan dasar setempat mulai berada. Pada prakteknya, kedalaman regolit diukur sampai pada kedalaman dimana struktur masa batuan menunjukkan perbedaan yang nyata.
Informasi kedalaman regolit diperlukan untuk pertimbangan perlakuan lahan, misalnya penterasan. Disamping itu kedalaman regolit juga sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pada kedalaman regolit lebih dangkal dari 50 cm dipertimbangkan sebagai pembatas ekstrim untuk sebagian besar spesies pohon-pohonan. Selain berpengaruh pada praktek konservasi tanah dan pertumbuhan tanaman, kedalaman regolit juga mempengaruhi kondisi drainase tanah. 7.
Kedalaman Tanah
Kedalaman tanah sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Tanah yang dangkal akan terbatas kemampuannya dalam menyediakan air dan unsur-unsur hara lainnya. Disamping itu kedalaman tanah sangat menentukan lahan bisa diolah atau tidak. Pada tanah yang dangkal, pengolahan tanah justru akan membalik sub soil ke atas yang berakibat terganggunya pertumbuhan tanaman. Pada klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan, faktor kedalaman tanah sangat diperhitungkan dan menentukan.
Pada satu unit lahan, kedalaman tanah mempunyai pola umum. Di kaki bukit biasanya mempunyai kedalaman tanah terbesar dibandingkan pada lereng tengah. Demikian pula tanah di lereng atas umumnya lebih dangkal dibandingkan dengan lereng tengah. Dengan mengikuti pola umum tersebut, maka kedalaman tanah dapat diidentifikasikan dengan penafsiran foto udara.
Keterkaitan kedalaman tanah dengan parameter lain, misalnya drainase, jenis tanah dan kemiringan lereng telah disinggung terdahulu. Seperti halnya kondisi permukaan, kedalaman tanah juga dapat berubah karena tenaga endogen dan tenaga eksogen. Pada daerah dengan tingkat pelapukan yang rendah, maka pembentukan tanahnya lambat. Di lain pihak kedalaman tanah juga dapat berubah karena adanya pengikisan atau erosi. Jadi parameter ini juga bisa dikatakan parameter yang dinamis, walaupun perubahannya tidak secepat parameter erosi.
8. Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah yang penting untuk pengelolaan lahan dan dideskripsikan di lapangan mencakup tekstur tanah dan struktur tanah. Tekstur tanah dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara fraksi tanah (pasir, debu dan lempung/ Sand, silt dan clay) sedangkan struktur tanah adalah bentuk spesifik dari agregat tanah. Tekstur tanah relatif tidak berubah tetapi struktur tanah mudah berubah terutama apabila ada pengolahan tanah. Parameter ini sangat berkaitan dengan parameter lainnya antara lain, kemiringan lereng, kondisi drainase, tipe batuan dan bentuk lahan.
Pada lereng yang terjal tekstur tanah biasanya lebih kasar dibandingkan dengan daerah yang datar karena partikel halus telah terkikisdan diendapkan di daerah yang datar. Akibat lebih jauh, drainase daerah miring akan lebih baik dibandingkan dengan dengan daerah datar. Tipe batuan akan mempengaruhi komposisi fraksi tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tekstur tanah, sedangkan bentuk lahan akan mempengaruhi tenaga eksogen yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap sifat fisik tanah.
Penentuan tekstur tanah dapat dilakukan secara teliti di laboratorium tetapi dalam ISDL ini tekstur tanah dapat dinilai di lapangan melalui metode Sidik Cepat Ciri tanah di Lapang. Ketelitian penentuan tekstur tanah di lapangan tergantung pengalaman surveyor, tetapi pada prinsipnya tidak sulit untuk dilaksanakan. Penilaian struktur tanah hanya bisa dilaksanakan di lapangan. Cara penilaian sifat-sifat fisik tanah tersebut di lapangan akan diuraikan lebih jauh pada petunjuk praktek lapangan.
9. Sifat Kimia Tanah
Bahan penting yang diabsorbsi tanaman dan dipindahkan dari tanah adalah air dan unsur hara. Tanaman dapat mengalami kekurangan (defisiensi) unsur hara bila unsur tersebut tidak terdapat dalam tanah atau unsur tersebut terdapat dalam jumlah cukup tetapi sangat sedikit terlarut atau tidak tersedia untuk menopang kebutuhan tanaman. Tanaman tahunan relatif lebih tahan terhadap defisiensi unsur hara. Dampak kekurangan unsur hara terhadap pertumbuhan tanaman juga berlangsung dalam jangka panjang dibandingkan dengan tanaman semusim. Oleh karena itu sifat kimia tanah hanya digunakan dalam penentuan kesesuaian lahan pada tanaman semusim.
Kondisi kesuburan tanah ditunjukkan oleh kandungan unsur hara tanah. Unsur hara tanah yang diukur di sini adalah merupakan unsur hara esensial yang terdiri dari unsur makro dan mikro. Dalam kegiatan ini yang diukur adalah unsur hara makro saja. Unsur-unsur makro terdiri tersebut adalah Nitrogen (N total), Phosphor (P2O5 tersedia) dan Kalium (K2O tersedia), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg). Unsur N merupakan penyusun semua protein, klorophyl di dalam koensim dan asam-asam nukleat. Unsur P berperan dalam transfer energi sebagai bagian dari adenosin tripospat, beberapa penyusun protein, koensim, asam nukleat dan substrat metabolisme. Unsur K meskipun penting tetapi hanya sedikit peranannya sebagai penuyusun komponen tanaman. Fungsi utama adalah untuk pengaturan mekanisme seperti fotosintesis, translokasi karbohidrat, sintesa protein dan lain-lain.
Keasaman tanah yang dinyatakan dalam Eksponen Hidrogen (pH) merupakan aspek kimia tanah yang tetap diperlukan dalam kegiatan ini. Hal ini disebabkan karena pengaruh pH yang sangat besar terhadap kesesuaian lahan dan pertumbuhan tanaman. pH tanah berhubungan erat dengan jumlah kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Ca dan Mg ini merupakan salah satu dari unsur hara makro. Ca merupakan komponen dinding sel, berperan dalam struktur dan permeabilitas membran, sedangkan Mg merupakan penyusun klorophyl and ensim aktivator. Pengukuran pH dilakukan pada horison A maupun B dengan menggunakan alat-alat testing lapangan sederhana pada ketelitian 0,1 satuan. Meskipun parameter pH merupakan faktor yang dinamis, tetapi tetap diperlukan dalam kaitannya dengan pengelolaan lahan.
Kapasitas tukar kation (KTK) menggambarkan jumlah/besarnya kation yang dapat dipertukarkan, sehingga semakin besar nilai KTK maka akan semakin banyak kation yang dapat dipertukarkan sehingga ketersediaan hara tanaman akan semakin meningkat. Sedangkan bahan organik (BO/Corg) menunjukkan besarnya kandungan bahan organik tanah. Semakin banyak BO maka struktur tanah akan semakin baik dan akan mempengaruhi KTK.
10. Kondisi Erosi
Erosi merupakan pembatas utama dari penggunaan lahan yang berkelanjutan. Identifikasi erosi di lahan hutan diperlukan untuk mengetahui jenis dan tingkat erosi serta prosentase luasan tererosi pada satuan peta sehingga upaya konservasi tanah yang efektif dapat direncanakan. Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa erosi biasanya terjadi cukup besar pada saat awal penebangan atau pembukaan lahan sampai tanaman berumur 2 tahun.
Parameter ini sangat dinamis, karena kondisi erosi bisa berubah drastis setiap waktu. Oleh karena itu perlu dicatat bahwa informasi jenis dan tingkat erosi hasil perisalahan adalah kondisi pada saat dilakukan survei lapangan. Pembaruan (updating) data parameter ini perlu sering dilakukan mengingat cepatnya perkembangan tanah tererosi.
Erosi yang dibahas dalam petunjuk ini adalah erosi yang disebabkan karena air. Sedangkan erosi angin, walaupun ada, tidak begitu banyak terjadi di Indonesia. Secara umum dikenal empat jenis erosi tanah oleh air, yaitu erosi permukaan/lembar (sheet erosion), erosi parit (rill erosion), erosi jurang (gully erosion), erosi tebing sungai (streambank erosion) dan erosi longsoran (landslide erosion). Pembagian tingkat erosi dilakukan secara kualitatif, yaitu diabaikan, ringan, sedang dan berat.
Pada umumnya erosi tanah banyak terjadi di lahan miring daripada di lahan datar. Dalam kaitannya dengan aspek tanaman, erosi juga akan banyak terjadi di lahan yang terbuka setelah penebangan sebelum adanya semak. Perlu dicatat pula bahwa penanaman sistem tumpangsari juga mempunyai resiko tinggi terhadap terjadinya erosi, akibat adanya pengolahan tanah. Pada dasarnya setiap tanah mempunyai tingkat kepekaan yang berbeda terhadap erosi, tergantung dari sifat fisik dan batuan pembentuknya. Dengan demikian maka kondisi erosi selain terkait dengan bentuk lahan juga terkait dengan sifat tanah dan tipe batuan.
11. Aspek Tanaman
Inventarisasi parameter tanaman dilakukan karena kinerja tanaman yang ada merupakan pencerminan kondisi lahan, sehingga identifikasi kondisi tanaman bisa digunakan sebagai indikator kondisi lahan saat itu. Informasi ini penting terutama bagi lokasi baru yang akan dibuka untuk hutan tanaman.
Bagi areal hutan tanaman yang sudah beroperasi, informasi kinerja tanaman juga sangat penting sebagai sarana pemantauan di tiap petak atau anak petak. Dengan demikian maka penanganan areal yang bermasalah yang ditandai dengan buruknya kinerja tanaman dapat segera direncanakan berdasarkan informasi ini.
12. Aspek Iklim.
Anasir iklim yang dibahas dalam kesempatan ini hanya curah hujan, karena terbatasnya stasiun meteorologi. Mengingat bahwa areal hutan banyak terletak di pegunungan, maka sangat dimungkinkan terpengaruh oleh hujan orografis. Akibatnya pola hujan dan distribusi hujan antar petak dapat sangat berlainan. Oleh karena itu diperlukan beberapa stasiun hujan pada satu bagian hutan agar rekaman hujan dapat mencerminkan kondisi yang realistis. Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa antar petak dalam satu bagian bisa mempunyai pola dan curah hujan yang berbeda tergantung elevasi dan arah lerengnya.
Fenomena perbedaan pola hujan antar petak juga merupakan bukti keterkaitan iklim mikro, dalam hal ini curah hujan, dengan kondisi fisik lahan terutama bentuk lahan, kemiringan lereng dan arah lereng. Dengan demikian informasi hujan dapat dikaitkan dengan parameter yang lain. Informasi hujan yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah: rata-rata curah hujan setahun dari data 10 tahun terakhir, jumlah bulan basah, jumlah bulan kering dan jumlah hari hujan setiap bulannya.
2.4. Survei Inventarisasi Sumber Daya Lahan.
Setelah mengetahui parameter fisik lahan yang akan dirisalah di lapangan dan keterkaitan antar paramater tersebut, langkah berikutnya adalah menetapkan langkah-langkah yang diperlukan bagi pelaksanaan identifikasi dan penilaian parameter fisik lahan tersebut di lapangan. Proses identifikasi dan penilaian parameter fisik lahan tersebut disebut evaluasi lahan. Dengan demikian evaluasi lahan dapat dilakukan melalui inventarisasi sumber daya lahan di setiap unit lahan yang telah dibatasi pada tahap pembatasan unit lahan. Dalam pelaksanaan evaluasi lahan sangat membutuhkan penafsiran atau interpretasi foto udara. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang medan yang akan di survei dan latar belakang pengetahuan tentang parameter yang akan diidentifikasi di foto udara
Penafsiran foto udara pada hakekatnya adalah usaha mendapatkan informasi melalui foto udara sehingga dapat memudahkan dan menyederhanakan pemantauan perubahan di lapangan. Jadi penafsiran foto udara tidak dapat menggantikan kegiatan survei lapangan, namun harus dilakukan untuk memudahkan kegiatan risalah tersebut.
Hasil dari kegiatan penafsiran foto udara dan evaluasi lahan di lapangan merupakan data terbaru yang perlu dikelola dan ditata untuk proses lebih lanjut. Dengan demikian maka kegiatan penafsiran foto udara, survei inventarisasi sumber daya lahan dan pengelolaan data dasar hasil survei merupakan suatu satuan rangkaian kegiatan. Survei inventarisasi sumber daya lahan dilaksanakan dengan mendeskripsikan setiap unit lahan di lapangan dan memanfaatkan bahan informasi yang diperoleh dari penafsiran foto udara. Jumlah titik atau tempat yang dideskripsikan di setiap unit lahan tergantung pada skala surveinya. Hubungan antara skala survei dan jumlah titik sampel pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1
Berikut adalah uraian tentang identifikasi masing-masing parameter di lapangan yang akan digunakan pada klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan
1. Bentuk Lahan
Bentuk lahan dapat ditetapkan melalui penafsiran foto udara sehingga pada saat kegiatan survei lapangan perlu dicek kebenarannya. Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, klasifikasi bentuk lahan dapat menggunakan Katalog Bentuk Lahan (Desaunettes, 1977) dan Kucera (1988) seperti pada tabel berikut:
0 komentar:
Posting Komentar